“Saya tidak ingin meninggalkan negeri
ini, Saya ingin menjadi Muslim di Negara Afrika Tengah terakhir yang
meninggalkan negeri ini atau setidaknya Muslim terakhir yang dimakamkan
di sini,” ujar seorang Imam masjid di Bangui ibukota Republik Afrika
Tengah (CAR).
Pernyataan sang Imam menggambarkan kondisi nestapa yang terjadi
disana. Tanpa ada pencegahan yang nyata, umat Islam di Republika Afrika
Tengah akan musnah, akibat pembantaian massal yang menimpa umat Islam.
Dalam laporannya pada Rabu (12/2), Amnesty Internasional menyatakan
telah mendokumentasi lebih dari 200 kasus pembunuh terhadap umat Islam
yang dilakukan milisi Kristen. Sejak Desember tahun lalu, setelah
milisi Kristen melakukan serangan terkoordinasi lebih dari 1000 orang
muslim terbunuh.
Pasukan perdamaian internasional, menurut organisasi HAM itu, telah
gagal menghentikan pembantaian ini. Pasukan ini dianggap tidak melakukan
tindakan yang nyata untuk mencegah muslim cleansing ini.
Kehadiran pasukan Prancispun ditolak umat Islam karena dianggap
memihak pada milisi Kristen. Ribuan umat Islam melakukan unjuk rasa di
Ibu kota Bangui setelah terjadinya pembunuhan tiga orang muslim yang
dilakukan oleh tentara Perancis.
Hal yang senada dinyatakan Human Right Watch pada hari yang sama.
Dalam pernyataan nya lembaga HAM ini mengatakan populasi minoritas
Muslim di negara itu telah menjadi sasaran gelombang kekerasan tanpa
henti yang terkoordinasi. Umat Islam dipaksa untuk meninggalkan negara
itu.
Antonio Guterres, kepala Badan Pengungsi PBB, mengatakan, dia telah
melihat bencana kemanusiaan dengan proporsi tak terkatakan di Afrika
Tengah. “Pembersihan massif etno-religius,” sebut dia.
Guterres menyebutkan pembunuhan tanpa pandang bulu dan pembantaian
telah terjadi, dengan kebiadaban dan kebrutalan yang mengejutkan. Total
sejak konflik terjadi ada 2,5 juta orang yang terlantar sebagian besar
adalah muslim .Puluhan ribu orangmengungsi dari kampungnya tetapi
kemudian terjebak tanpa tujuan. Di Bangui saja ribuan orang berada di
dalam ghetto dengan kondisi memprihatinkan.
Pembantaian ini dilakukan secara sadis yang tidak bisa dibayangkan
oleh manusia normal. Secara terbuka,pendukung milisi Kristen memakan
daging seorang muslim yang mereka bunuh. Wanita-wanita muslimah juga
diperkosa. Rumah-rumah dan masjid dibakar dan dihancurkan. Penyiksaan
terhadap muslim dilakukan di jalan-jalan secara terbuka. Mereka
melakukan kebiadaban ini dengan ini dengan wajah yang gembira dan penuh
kesombongan.
“Muslim! Muslim! Muslim. Saya menusuknya di kepala. Saya menuangkan
bensin padanya. Saya membakarnya. Lalu saya memakan kakinya, semuanya
hingga ke tulang-tulangnya dengan roti. Itu sebabnya orang-orang
memanggilku dengan sebutan Mad Dog (anjing gila), “, ujar Magloire
dengan sombongnya.
Meski telah menjadi korban, umat Islam pun disalahkan dalam
pembantaian ini. Menyalahkan korban (blame the victim) menjadi pola yang
berulang. Umat Islam dianggap bersekongkol dengan Michel Djaotodia
(seorang yang kebetulan muslim) yang didukung koalisi Seleka
menggulingkan Presiden Francois Bozize pada bulan Maret 2013 yang telah
berkuasa selama 10 tahun. Kekacauan pun terjadi, terjadi saling serang
antara pendukung Michel Djaotodia dan Bozize.
Setelah Djaotodia mengundurkan diri, terjadi aksi yang diklaim
sebagai aksi balas dendam. Seluruh umat Islam pun dianggap bersalah dan
dibantai. Padahal kebijakan Djaotodia bukanlah mewakili umat Islam,
apalagi selama ini umat Islam (15 persen dari penduduk CAR) dan warga
Kristen bersama penganut agama-agama lokal lainnya hidup berdampingan
dengan damai.
Seperti biasa Baratpun tidak begitu peduli dengan apa yang menimpa
umat Islam. Sistem internasional ala kapitalis dengan organ PBB-nya
gagal. Termasuk penguasa-penguasa negeri Islam pun diam seribu bahasa.
Semua ini menunjukkan bagaimana nasionalisme telah menjadi racun yang
mematikan umat Islam. Dengan alasan, tidak berhubungan dengan
kepentingan nasional kita, penguasa-penguasa negeri Islam tidak ambil
pusing. Tidak peduli dengan nasib muslim di Negara Afrika Tengah,
sebagaimana mereka tidak berbuat apa-apa terhadap penderitaan muslim
rohingya, Palestina, Irak dan negeri-negeri Islam lainnya.
Nasionalisme sesungguhnya merupakan ikatan ashobiyah, yang hanya
mementingkan suku atau bangsa. Padahal Rosulullah SAW telah mengecam
ikatan Ashobiyah yang bukan bersumber dari aqidah Islam. “Bukan termasuk
umatku orang yang mengajak pada ‘ashabiyah; bukan termasuk umatku orang
yang berperang atas dasar ‘ashabiyah; bukan termasuk umatku orang yang
mati atas dasar ‘ashabiyah.” (HR Abu Dawud).
Belenggu Nasionalisme terbukti mengikis ukhuwah islamiyah dan
kepedulian umat sehingga umat menjadi lemah. Negeri-negeri Islam menjadi
santapan empuk bangsa-bangsa imperialis, meskipun jumlah kita lebih
dari 1,5 milyar di seluruh dunia.
Nasionalisme juga telah memecahbelah umat Islam dengan kehadiran
nation-state (negara bangsa) yang jumlahnya banyak . Padahal Umat Islam
diwajibkan hidup dalam satu kepemimpinan seorang khalifah dalam
institusi Negara Khilafah, bukan justru mengadopsi konsepsi nation
state yang dipimpin oleh banyak presiden atau raja seperti saat
ini. “Jika dibaiat dua orang khalifah(kepala negara) maka bunuhlah yang
terakhir dari keduanya.” (HR Muslim).
Karena itu racun nasionalisme, sudah selayaknya dibuang jauh-jauh
dari pemikiran umat. Dan kita harus bersungguh-sungguh untuk
memperjuangkan kembalinya Khilafah Islam yang akan melindungi setiap
tetes darah umat Islam dan menjaga setiap jengkal negeri Islam dari
perampokan negara-negara yang memusuhi Islam. (Farid Wadjdi)
Sumber
Kamis, 20 Februari 2014
Filled Under:
Peristiwa
Muslim Cleansing di Republik Afrika Tengah, Dimana Penguasa Negeri Islam?
Posted By:
Unknown
on 02.58
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar