Aku berasal dari Persia, tepatnya Ashfahan. Ayahku adalah seorang
yang kaya-raya dan ternama. Aku orang yang paling dicintainya di dunia
ini. Bahkan saking cintanya, aku tidak pernah diperbolehkan keluar dari
rumah. Aku penganut agama Majusi yang sangat taat. Aku mengabdi kepada
api, tidak pernah aku membiarkannya redup barang sebentar.
Perjalanan hidupku sangat panjang dan berliku hingga aku bisa seperti
ini sekarang. Perjalanan itu bermula pada suatu pagi. Pagi itu ayahku
sibuk hingga tidak bisa menengok kebunnya yang luas. Aku diminta untuk
menengoknya. Kebun itu berada cukup jauh dari rumah.
Di tengah perjalanan, aku melewati sebuah gereja. Kudengar
sayup-sayup suara jamaah gereja yang sedang khusyuk berdoa dan memuji
tuhan mereka. Suara pujian dan doa mereka demikian indah. Dalam hati aku
berpikir, agama ini jauh lebih baik daripada agama yang kuanut. Aku pun
segera mampir ke sumber suara itu. Aku masuk untuk melihat barang
sejenak apa yang mereka lakukan. Kekagumanku semakin bertambah ketika
kulihat mereka berdoa. Aku sempat bertanya pada seseorang di sana, “Dari
mana asal agama ini?” Dia menjawab, “Dari negeri Syam.”
Setelah beberapa saat berada di dalamnya, berat rasanya beranjak dari
tempat itu. Kuhabiskan pagi, siang, hingga sore hari itu di dalam
gereja. Aku pulang tanpa sempat lagi menengok kebun.
Sesampainya di rumah, aku baru mengetahui bahwa ayahku sepanjang hari
berkeliling-keliling mencariku. Dia bertanya, “Kemana saja engkau,
sesore ini baru pulang?” Aku menjawab, “Aku tadi melewati sebuah gereja.
Di dalamnya banyak orang yang sedang berdoa. Aku pergi melihat mereka,
dan aku sangat tertarik dengan agama mereka. Agama itu lebih baik dari
agama kita. Karena senang, aku baru pulang ketika hari sudah sore.”
Ayahku berkata, “Anakku, agama yang baru kau lihat tidak sebaik yang
kau kira. Agamamu dan nenek moyangmu jauh lebih baik.” Aku pun
bersikeras bahwa agama mereka lebih baik. Akhirnya ayahku marah. Aku
kembali dikurungnya di rumah.
Selama dikurung, aku selalu merenung tentang agama itu. Aku sempatkan
mengirim pesan kepada orang yang kutemui di gereja itu. Kukatakan,
“Kalau ada rombongan yang datang dari negeri Syam, tolong beritahu aku.”
Selang beberapa waktu datang, serombongan orang Syam. Lalu beberapa
orang gereja pun datang ke rumahku untuk memberitahukan hal tersebut.
Kukatakan kepada mereka, “Nanti kalau mereka akan kembali ke negeri
mereka, tolong beritahu aku.”
Singkat cerita, datanglah orang memberitahukan bahwa orang-orang Syam
itu akan segera kembali ke negeri mereka. Aku segera mencari cara agar
bisa keluar dari rumah. Setelah berhasil keluar, aku segera bergabung
dengan rombongan yang akan pergi ke Syam tersebut. Berhari-hari kulalui
perjalanan ke Syam. Sesampainya di sana, kutanyakan kepada mereka,
“Siapakah orang yang paling luas pengetahuannya tentang agama ini?”
Mereka menjawab, “Uskup.”
Segera aku mendatanginya dan berkata kepadanya, “Aku ingin masuk
agama ini. Oleh karena itu, aku akan selalu bersamamu dan mengabdi di
gereja, sehingga aku bisa belajar agama ini.” Dia menjawab, “Masuklah.”
Hanya beberapa waktu bersamanya, aku sudah mengetahui bahwa dia adalah
orang yang jahat. Dia memerintahkan orang lain untuk membayar sedekah.
Sedangkan sedekah-sedekah itu diambil dan disimpannya untuk diri
sendiri. Dia tidak memberikannya kepada orang-orang miskin. Hingga harta
yang terkumpul mencapai tujuh buah kotak berisi emas dan perak. Aku
sangat membencinya karena kejahatan itu.
Setelah beberapa tahun bersamanya, Uskup itu meninggal dunia.
Orang-orang Nasrani berkumpul untuk menguburkannya. Kukatakan kepada
mereka, “Sebenarnya Uskup ini adalah orang yang jahat. Dia menyuruh
kalian membayar sedekah, sedang sedekah itu dikumpulkannya untuk diri
sendiri.” Mereka tidak percaya dengan perkataanku, “Mana buktinya?” Maka
aku segera tunjukkan tempat disimpannya emas dan perak itu. Mereka
sangat terkejut dan langsung berkata, “Selamanya kami tidak akan
menguburkannya.” Mereka kemudian menyalib jenazah Uskup itu, lalu
melemparinya dengan batu.
Orang-orang Nasrani kemudian memilih Uskup yang baru. Kulihat Uskup
pengganti itu adalah orang yang baik. Dia orang yang rajin beribadah dan
sangat zuhud kepada harta dunia. Aku sangat menghormati dan
mencintainya. Aku hidup bersamanya beberapa waktu, sampai saat datang
ajal kepadanya. Saat itu kukatakan, “Selama ini aku hidup bersamamu,
mencintaimu lebih dari cintaku kepada yang lain. Sekarang aku lihat
ajalmu sudah dekat. Katakanlah kepada siapa lagi aku berguru
sepeninggalmu?” Beliau menjawab, “Anakku, demi Allah saat ini sudah
sangat jarang orang yang mengamalkan agama seperti kita. Orang-orang
yang benar sudah meninggal; yang tersisa adalah orang-orang yang sudah
rusak dan mengubah agama mereka. Hanya ada satu orang yang mengamalkan
agama seperti kita, yaitu seorang Nasrani di kota Al-Maushil. Namanya
Fulan bin Fulan. Pergilah ke sana.”
Aku pun segera pergi ke kota Al-Maushil. Aku menemui orang yang
dimaksud guruku itu. Kukatakan kepadanya, “Saat meninggal, guruku
berwasiat agar aku menemui dan berguru kepadamu.” Dia menjawab,
“Baiklah. Tinggallah bersamaku.” Aku lihat dia seorang yang baik. Persis
dengan guru keduaku. Namun tak lama aku tinggal bersamanya, dia pun
sakit dan meninggal dunia. Sesaat sebelum meninggal dunia, aku bertanya
kepadanya, “Wahai guruku, dulu guruku yang kedua berwasiat kepadaku
untuk belajar kepadamu. Sekarang engkau sudah sakit parah. Kalau engkau
meninggal, ke manakah hendaknya aku berguru lagi?” Dia menjawab, “Aku
hanya mengetahui satu orang yang mengamalkan agama seperti kita. Dia
tinggal di kota Nashibin. Namanya Fulan bin Fulan. Pergilah ke sana, dan
tinggallah bersamanya.”
Setelah guruku meninggal dunia dan dikuburkan, aku segera pergi ke
Nashibin untuk menemui orang yang ditunjuk tersebut. Setelah kKukatakan
maksud kedatanganku, dia pun mempersilahkaku tinggal bersamanya. Aku
hidup bersamanya beberapa waktu, karena dia pun kemudian meninggal
dunia. Sesaat sebelum meninggal dunia, kembali kutanyakan tentang guru
berikutnya. Dia menunjuk seorang Nasrani di kota Amuriah, sebuah
propinsi Romawi.
Aku belajar di Amuriah beberapa saat, karena guru baruku pun
meninggal dunia. Di akhir kehidupannya, dia berpesan, “Sekarang memang
sudah sangat sedikit orang yang baik dalam mengamalkan agamanya. Tapi
jangan khawatir, sudah hampir tiba masa diutusnya seorang nabi baru. Dia
akan diutus di negeri Arab. Karena mendapatkan pertentangan dari
kaumnya, dia akan hijrah ke sebuah negeri yang diapit dua gunung berbatu
hitam. Di tengah dua gunung tersebut adalah lahan perkebunan kurma yang
sangat subur. Nabi itu mempunyai tanda-tanda yang bisa kau gunakan
untuk mengenalinya; dia tidak mau makan harta sedakah, tapi mau makan
harta hadiah, dan di punggungnya ada sebuah tanda kenabian.”
Begitu mendengar kisah itu, aku merasa sangat rindu bertemu dengan
nabi itu. Aku berharap bisa segera pergi ke negeri Arab. Maka ketika
datang rombongan pedagang dari negeri Arab, aku langsung menemui mereka.
Kukatakan kepada mereka, “Bolehkah aku ikut ke negeri kalian?
Imbalannya, aku akan memberi kalian hewan-hewan ternakku.” Mereka pun
menerima. Namun di tengah perjalanan, mereka berkhianat. Mereka
menjualku kepada seorang Yahudi. Mulai saat itu aku menjadi seorang
budak. Dia membawaku ke tempat tinggalnya untuk hidup dan mengabdi
kepadanya. Dia tinggal di sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon
kurma. Dalam hati, aku berharap bahwa tempat itu adalah tempat yang
dimaksud oleh guruku. Bahwa nabi baru itu akan berhijrah ke sana.
Sehari-hari aku sibuk dengan banyak pekerjaan seorang budak. Aku
tidak banyak mendengar kabar dunia luar. Termasuk kabar yang tersiar di
Mekah tentang seseorang yang mengaku sebagai nabi. Saat yang
kutunggu-tunggu itu rupanya sudah tiba. Saat itu aku sedang bekerja di
atas pohon kurma, sedangkan tuanku berada di bawah. Ketika datang
seseorang mengabarkan bahwa nabi itu telah tiba, aku hampir terjatuh
saking kaget dan bahagianya. Kutanyakan kepada tuanku, “Benarkah nabi
itu telah tiba?” Tuanku marah dan menamparku, “Apa urusanmu dengan
datangnya nabi itu? Ayo, lanjutkan kerjamu.” Aku menjawab, “Tidak ada
apa-apa. Aku hanya ingin tahu saja.”
Baru sebentar nabi itu datang, aku sudah ingin segera menemuinya.
Saat itu aku sudah memiliki kurma. Aku ingin memberikan kurma itu
kepada nabi baru itu. Aku menemuinya yang saat itu masih berada di
Quba’, belum sampai ke Madinah. Kukatakan kepadanya, “Aku mendengar
bahwa engkau adalah orang yang baik. Engkau juga mempunyai banyak teman
yang sangat membutuhkan bantuan. Aku ingin mensedekahkan kurma-kurma
ini.” Aku meletakkan kurma-kurma itu di hadapannya, tapi beliau malah
berkata kepada para sahabatnya, “Makanlah kurma-kurma ini.” Sedangkan
beliau sendiri tidak makan sedikitpun. Dalam hati aku berkata, “Salah
satu tanda kenabiannya sudah kubuktikan.”
Selang beberapa hari, nabi itu melanjutkan perjalanan ke Madinah. Aku
mengumpulkan kurma lagi untuk diberikan kepadanya, “Kemarin aku melihat
engkau tidak berkenan memakan sedekah. Sekarang aku ingin memberimu
kurma-kurma ini sebagai hadiah.” Mendengar hal itu, beliau pun
memakannya. Dalam hati aku berkata, “Sudah dua tanda kenabiannya yang
kulihat.”
Suatu hari, ada seorang penduduk Madinah yang meninggal dunia.
Kulihat nabi itu ikut mengantarnya ke kuburan Baqi’ul Gharqad. Beliau
menutupi tubuhnya dengan dua selendang dari kain yang sangat kasar. Aku
menemui dan mengucapkan salam kepadanya. Setelah itu aku mundur ke arah
belakang beliau. Aku bermaksud menunggu kainnya tersingkap hingga bisa
kulihat tanda kenabian yang tertulis di punggung beliau. Seakan
merasakan hal tersebut, beliau langsung menyingkap kainnya sehingga
dengan sangat jelas kulihat tanda kenabian itu di punggungnya. Aku
menangis sejadi-jadinya, dan langsung memeluk dan mencium beliau.
Akhirnya kutemui juga nabi yang selama ini kutunggu-tunggu dan
kucari-cari.
Langsung terbayang dalam benakku saat aku meninggalkan ayah yang
sangat mencintaiku. Saat aku hidup berpindah-pindah dari satu guru ke
guru yang lain di negeri-negeri yang berjauhan. Saat kehilangan
harta-hartaku. Saat aku dihinakan menjadi seorang budak yang
diperjual-belikan, yang dipaksa bekerja bagaikan hewan ternak. Namun
rasanya, semua itu hilang begitu saja ketika kubuktikan bahwa orang yang
ada di depanku adalah nabi yang selama ini aku cari dan tunggu.
Sekarang aku menjadi salah seorang sahabatnya. Aku sangat
mencintainya, seperti perasaan seluruh pengikutnya. Beliau adalah
pemimpin agung yang sangat menyayangi kami. Karena sayangnya, beliau
meminta untuk segera menebus diri agar tidak lagi menjadi seorang budak.
Beliau membantuku mengumpulkan harta untuk tebusan. Sekarang aku
seorang Muslim yang Merdeka. Seorang sahabat Rasulullah saw. Aku kini
dikenal dengan nama Salman Al-Farisi. Di atas adalah foto kuburan beliau
di Irak.
Sumber
Sabtu, 22 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar