Hal ini berbeda ketika Daulah Khilafah masih ada. Seterpuruk apapun kondisi umat saat itu, setiap upaya dan tindakan yang menistai Islam dan umatnya, tetap bisa ditindak tegas. Inilah yang ditunjukkan Sultan Abdul Hamid Ats-Tsani. Pada akhir abad ke-19, tahun 1890, ketika seorang penulis Prancis, Henri de Bornier, membuat pentas drama komedi berisi penghinaan kepada Rasulullah SAW, Sultan Abdul Hamid mengirim surat kepada Prancis agar melarang pementasan drama itu di seluruh Prancis. Prancis pun memenuhi permintaan itu dan mengambil keputusan melarang pementasan drama itu.
Prancis mengirim surat kepada Sultan Abdul Hamid yang di antara isinya: “Kami percaya, keputusan yang kami ambil sebagai pemenuhan atas keinginan yang mulia Sultan akan memperkuat hubungan hangat di antara kita ..”. Ketika penulis itu berusaha mementaskannya di Inggris dan mulai membuat persiapan pementasannya di Allesiyom yang terkenal, Sultan mengetahuinya dan mengirimkan surat agar pementasan itu dilarang. Maka pementasan itu pun dilarang. Padahal kala itu, Inggris merupakan negara adidaya, namun ia tetap meminta maaf atas persiapan pementasannya, meski drama itu belum sempat dipentaskan.
Tidak cukup sampai di situ, Sultan pun memanggil seluruh
duta negara-negara Eropa yang ada di Daulah Khilafah Utsmaniyyah. Ketika
mereka datang, sang khalifah membiarkan mereka menunggu berjam-jam di
depan pintu kekhilafahan. Kemudian Sultan datang menemui mereka dengan
berpakaian militer sambil menjinjing sepatu, lalu dengan penuh wibawa
dan nada mengancam, ia berkata kepada mereka: “la in lam tantahi faronsa
‘an fi’latiha, la anta’ilannaha bi jaisyil khilafah, kama anta’ilu
hadzal hidza biyadii, fahkhrijuu qobbahakumullah” Artinya: “Seandainya
Prancis tidak menghentikan tindakannya (pementasan drama yang menghina
Rasulullah), niscaya aku kerahkan pasukan khilafah yang dengannya aku
perlakukan mereka seperti sepatu yang ada ditanganku ini. Maka pergilah,
semoga Allah SWT menimpakan keburukan kepada kalian”. Para duta itu pun
segera menyampaikan kepada para pemimpin mereka, apa yang mereka dengar
dan mereka saksikan dari sang khalifah. Terkejut mendengar acaman di
atas, Ratu Inggris yang ketika itu sedang hamil, keguguran janinnya.
Betapa tidak, ancaman tegas tampak dalam ucapan sang Sultan. Al-inti’al
artinya adalah Lubs an na’l (mengenakan sepatu). Dikatakan, inta’ala
al-ardha, artinya saafara ‘alaiha (berjalan di atasnya), atau wathi’aha
(menginjakkan kaki di atasnya). Selain itu, sang Sultan tidak memandang
bahwa tindakan penghinaan tadi, seandainyaa pementasan drama itu
benar-benar terlaksana, hanya ulah salah seorang warga Prancis, tetapi
ia menganggapnya sebagai kebiadaban yang dilakukan oleh institusi
negara. Sehingga dengan perkataannya itu, tak ada satu negara pun yang
bisa beralasan bahwa itu hanyalah tindakan makar warganya, apalagi
berlindung di balik alasan kebebasan. Tak heran berselang tiga tahun
setelah itu, yakni pada tahun 1893, ketika tersiar berita bahwa di
Roma-Italia akan digelar sebuah pementasan drama berjudul “Muhammad
at-Tsaniy”. Pemerintah Italia langsung membatalkan rencana tersebut.
Sikap khalifah ini jugalah yang membuat umat menjadi
tenang. Mereka merasa senang dan bangga dengan sikap sang Sultan.
Berbagai surat ucapan selamat dikirim oleh kaum Muslimin dari berbagai
penjuru dunia, bahkan sebagian mereka mengadakan perayaan atas kabar
gembira tersebut. Hal ini jauh berbeda dengan kondisi umat saat ini.
Persoalan demi persolan yang menimpa umat Islam serta penghinaan demi
penghinaan terhadap Rasulullah SAW semakin menunjukkan bahwa para
pemimpin sekuler yang ada saat ini, bukan hanya tidak mampu melindungi
kehormatan Islam dan kaum Muslimin, namun juga semakin jelas menunjukkan
bahwa keberadaan mereka justru untuk melindungi kepentingan asing yang
membenci dan memusuhi kaum Muslimin. Wajar, meski tidak semuanya dapat
dibenarkan, bila umat saat ini, melakukan tindakannya masing-masing,
dengan caranya sendiri-sendiri demi membela agama dan kehormatannya.
Wallahu a’lam, (mediaumat.com, 8/10/2012)
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar