Imam Ghazali: ‘Bila Dirham Dan Dinar Tidak Diberlakukan Maka Dunia Hilang Keseimbangannya’
IMAM Ghazali, lengkapnya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al Ghazali, semoga Allah meridhoinya, sangat kita kenal melalui kitabnya Ihya Ulumuddin.
Kitab ini berisikan hampir semua sisi dari dien Islam, menyangkut aspek syariat maupun hakekat, dan mengupas masalah Iman, Islam, dan Ihsan. Tak terkecuali, soal dinar dan dirham pun, disoroti oleh Imam Ghazali. Yang menarik adalah Imam Ghazali mengupas masalah dinar dirham ini sebagai bagian dari Kitab Syukur, pada bagian akhir dari kitabnya yang cukup tebal.
Bagaimana pandangan sang Imam soal dinar dirham ini?
Dalam kitab Ihya Ulumuddin pada Kitab Syukur (Ihya Ulum al-Din, Jilid IV, diterbitkan di Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H/2003 M, hal.121-122) tersebut Imam al-Ghazali mengatakan, “min ni’amillahi ta’ala kholqu ad-darahim wa ad-dananir wa bihima qiwam ad-dunya”. (Dari sekian nikmat Allah ta’ala adalah penciptaan dirham dan dinar, dengan kedua mata uang ini maka tegaklah dunia).
Karena itu mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) dari pernyataan ini adalah “bila dirham dan dinar tidak diberlakukan maka dunia menjadi tidak tegak atau hilang keseimbangannya”. Al-Ghazali mengungkapkannya dengan “qiwam ad-dunya” (tegaklah dunia) bukan “qiwam al-Ardh” (tegaklah bumi). Dengan demikian, jika dirham dan dinar tidak diberlakukan maka akan membuat kekacuan bagi kehidupan manusia di dunia dan akan berpengaruh terhadap kehancuran bumi.
Al-Ghazali juga memberi contoh jual beli yang tidak adil. “Wa kadza man yasytari daron bitsiyabin au abdan bikhufin au daqiqan bihimarin fahadza al asy-ya la tunaasabu fiiha” (dan demikian pula orang yang membeli rumah dengan sehelai pakaian, membeli budak dengan sepatu, atau membeli tepung dengan seekor keledai, maka pertukaran barang-barang tersebut tidak berkesesuaian). Sepuluh abad setelah al-Ghazali wafat (1111 H), sebagaimana kita alami hari-hari ini, rumah, budak, kuda dan seluruh kekayaan alam ini dapat ditukar dengan barang yang lebih murah – bahkan hampir tak ada nilainya sama sekali – dari pada barang-barang tersebut, yaitu dengan kertas-kertas yang bertuliskan dolar, rupiah, dan sebagainya.
Dalam konteks itulah, kemampuan dinar emas dan dirham perak menghasilkan pertukaran yang adil, Imam Ghazali menyebutnya sabagai “satu-satunya hakim yang adil.” Emas dan perak diciptakan Allah SWT sebagai kemudahan bagi manusia dalam bertransaksi guna memenuhi kebutuhan hidup. Tanpa dinar dan dirham, transaksi hanya bisa dilakukan melalui barter, yang tidak selalu mudah dilaksanakan, karena kebutuhan satu orang dan orang lainnya tidaklah selalu sesuai dengan barang yang dimiliki masing-masing. Alat tukar umum yang adil, dalam istilah sekarang medium of exchange, sangat diperlukan, dan itu dapat dipenuhi oleh dinar dan dirham.
Al-Ghazali juga mengatakan hikmah tersembunyi dari penciptaan dinar dan dirham tidak akan ditemukan di dalam hati yang berisi sampah hawa nafsu dan tempat permainan setan. Sebab, tidak ada yang bisa mengambil pelajaran dari hikmah tersebut kecuali orang-orang yang menggunakan akalnya. Menurut Imam Ghazali, bagi mereka yang mengambil pelajaran dan hikmah tersebut, dinar emas tidaklah bedanya dengan secuil batu yang tak bernilai, meskipun pada saat yang sama dinar emas sangat bernilai.
Dalam pemahaman tersebut dinar emas hanya akan diperlakukan sebagai alat tukar, bukan sebagai harta yang ditimbun-timbun, dalam bentuk apa pun. Implikasinya adalah memanfaatkan emas dan perak untuk keperluan-keperluan lain, seperti sebagai perhiasan atau bejana dan alat-alat lainnya, dinilai sebagai tidak mensyukuri nikmat Allah SWT. Dinar dan dirham seyogyanya hanya digunakan sebagai alat tukar, hingga koin-koin ini akan berpindah dari tangan ke tangan, dan menghasilkan pemerataan kekayaan.
[nurman kholis/wakalanusantara]
0 komentar:
Posting Komentar