Selasa, 11 Februari 2014

Filled Under:

Golput Haram?

Oleh: Rizqi Awal, Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia Jawa Barat, Pengamat di Lembaga Analisis Politik Indonesia
DI antara point-point dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang tidak menggunakan hak pilih di dalam Pemilihan Umum :
Salah satu dari dua rekomendasinya :
“Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar.”
Butir-butir yang menjadi landasan rekomendasi tersebut :
butir ke-4 : Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat islam hukumnya adalah wajib.
butir ke-5 : Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
butir ke-1 : Pemilihan Umum dalam pandangan islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
Dan jika kita perhatikan dari point-point di atas tampak MUI begitu bijaksana dan sangat berhati-hati. Hal itu terlihat dari adanya tiga hukum yang terkait dengan penggunaan hak pilih didalam pemilihan umum :
  1. Dianjurkan (mandub atau sunnah) yang ada didalam rekomendasi.
  2. Wajib yang ada didalam butir ke-4.
3. Haram namun dengan persyaratan yaitu, haram golput selama ada calon yang memenuhi syarat, pada butir ke-5.
Didalam butir ke-5 tidak ada penjelasan rinci tentang kata-kata ‘memenuhi syarat’, apakah yang dimaksud syarat-syarat yang disebutkan didalam butir ke-1 atau butir ke-4 atau kedua-duanya.
Isi butir ke-5 “….. atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.” dan jika menggunakan pemahaman berbalik maka bisa diartikan dengan “…. atau tidak memilih sama sekali (golput) ketika tidak ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah tidak haram”
Kemudian dalam Rekomendasinya MUI menganjurkan umat islam untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar. Kata-kata ‘menganjurkan’ berbeda dengan ‘mewajibkan’ begitu pula didalam konsekuensi hukumnya. Artinya seorang muslim yang melakukan perintah tersebut akan mendapatkan pujian dan pahala dari Allah swt dan jika ia tidak melakukannya maka ia tidaklah tercela dan tidak juga mendapatkan dosa dari-Nya.
Dari butir ke-5 dan rekomendasi tersebut tampak tidak ada pengharaman GOLPUT oleh MUI secara mutlak namun demikian MUI menganjurkan agar umat islam memilih orang-orang yang mengemban amar ma’ruf nahi munkar.
Kemudian ukuran apakah seorang calon pemimpin atau wakil rakyat memenuhi syarat-syarat di atas atau tidak, siap mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar atau tidak akan berpulang kepada pengetahuan dan pemahaman setiap pemilih yang memungkinkan terjadinya perbedaan diantara mereka. Bisa saja seorang pemilih melihat seorang calon pemimpin atau wakil rakyat telah memenuhi syarat namun tidak menurut yang lainnya. Bisa saja seorang pemilih melihat seorang calon dapat mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar namun tidak menurut yang lainnya.
Golput Haram, Di Sistem yang Kufur
Al-Syaikh Muhammad Syakir al-Syariif dalam kitab Haqiiqatud Diimuqraathiyyahmengemukakan:

فماذا تخبرنا المراجع عن أصل هذه الكلمة، وعن حقيقة مدلولها؟ لقد تضافرت تعريفات القواميس والكاتبين ….. على أن “الديمقراطية” كلمة يونانية الأصل، وهي مكونة من كلمتين، أضيفت إحداهما إلى الأخرى.

“Lantas apa yang dijelaskan berbagai referensi tentang asal kata ini dan hakikat pengertiannya? Sungguh definisi yang dijelaskan dalam kamus-kamus dan penjelasan para penulis (buku tentang demokrasi) saling menguatkan….. Bahwa, demokrasi adalah kata yang berasal dari Yunani, terdiri dari dua kata, yang satu sama lain saling terkait.”
Makna demikian, sebenarnya ditemukan secara gamblangan tentang Demokrasi itu sendiri. Dimana pijakan hukum bukan bertitik tolak pada Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi kesepakatan masyarakatnya. Sementara Pemimpinnya menjalankan apa yang telah disepakati bersama.
Padahal jelas kita ketahui bahwa,
“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’aam [6]: 57)
Dan juga pada ayat:
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maa’idah [5]: 44)
Ini sangat kontradiktif dengan maksud dan tujuan Demokrasi. Seringkali diantara mereka yang menghalalkan Demokrasi, seringkali mengambil Demokrasi sebagai jalan untuk mencapai tujuan. Padahal kita ketahui bersama bahwa Demokrasi tidak lebih sebagai perantara menegakkan hukum manusia, sehingga penerapan syariat islam sebagai tujuan perjalanan politik sebenarnya hanyalah barang jualan saja. Sementara saat mendudukkan jabatan, sebenarnya hukum yang dijalankan bukanlah islam.
Muhammad Asad dalam kitab Minhaj Al-Islam fi Al-Hukm (hlm. 52) mengungkapkan: “Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam (diterapkan) pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”
Fatwa Golput haram sementara sistemnya hari ini adalah kekuasaan yang tidak bertitik tolak dengan islam, maka ini tak bisa diterapkan. Sementara, seruan golput itu haram, adalah tugasnya untuk mencari pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul. Sementara Presiden hari ini, harus taat pada UUD 1945 yang sebenarnya pijakannya bukan berasal dari islam.

Kepentingan Politik di Balik Golput Haram
Meskipun fatwa ini telah beredar semenjak tahun 2009. Nyatanya fatwa ini memang populis, tetapi bagi masyarakat fatwa ini sangat berbau politis. Kenapa demikian?
Berapa sebenarnya jumlah Golput pada Pemilu 2009 ? (berdasarkan dataPemilu Legislatif). Dari 171.265.442 pemilih, hanya 104.099.785 suara yang sah ! Suara yang tidak sah sebesar 17.488.581 (sebagian tentunya juga Golput). Jumlahnya suara yang tidak memilih paling sedikit 49.677.776 ~ 29,006 persen.
Lahirnya fatwa haram itu, bisa jadi merupakan tekanan politik kala itu. Karena masyarakat telah menilai bahwa tidak ada yang penting menurut mereka untuk melakukan pemilihan. Bahkan, masyarakat sepertinya tidak merasa “harus” memilih. Sebab masyarakat hari ini telah dewasa dan mengerti tentang makna pemilihan.
Ini kelak bisa menjadi tedensius sendiri buat MUI. Sebab di fatwa ini bisa membahayakan kepada ummat. Seolah-olah semua fatwa MUI penuh dengan kepentingan. Sementara bagi saya, masyarakat harus bijak melihat fatwa MUI itu sendiri. Apalagi di tahun 2014, sepertinya kepercayaan publik kepada pemilihan legislatif dan eksekutif sepertinya semakin menghilang. Jejak caleg yang penuh masalah, Partai-partai di masa lalu, ternyata tetap saja melakukan Korup, meskipun itu berasal dari partai berbasiskan islam sekalipun.
Pertanyaanya, bisakah Golput melahirkan tekanan kepada publik? Tentu bisa. Kepemimpinan yang tidak memiliki legitimasi kuat dari masyarakat adalah kepemimpinan yang tak lagi dipercaya oleh masyarakat. Maka, tekanan perubahan amandemen undang-undang secara mendasar dan pergantian kepemimpinan begitu kuat. Begitulah proses yang dialami Indonesia selama 2 kali rezim kekuasaan. Soekarno dan Soeharto. Bukan dorongan dari dalam, tetapi dorongan masyarakat luaslah yang telah mengubah paradigma politik di suatu negeri. []



Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 PEJUANG ISLAM.