Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya
mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di
sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut
untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal
penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah
ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan
ini akhirnya dapat dirunut secara logika historis.
Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ?
Karena kata Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Prabu
Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui
di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir
ramalan Joyoboyo (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164
dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb :
164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho;
ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah
saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda;
landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua
kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah
perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula
weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)
173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula
padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula;
angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku
momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging
kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula
kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering
kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain;
rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja
menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada
memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah
menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang;
tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah
usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya;
semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi)
Serat Darmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan
kearifan dan netralitas yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa
yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul
sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada
maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah
warisan leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.
Dalam serat Dharmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti
ucapan-ucapan penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu
Brawijaya dan Sabdo Palon di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika
Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke
Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan
Cina untuk memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah
menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga
dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo Palon tidak
bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka
berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati
ucapan-ucapan berikut ini :
Sabdo Palon :
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban,
rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi
langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang
mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên
pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula,
ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya
kula, …”
(“Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan
(kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada
gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang
tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya (Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”)
Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi
dan langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran
ini telah diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
“…, hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”
(“…, itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi
termasyhur; …”). Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa
dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang
dikenal sebagai “Manik Maya” atau “Semar”.
“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang
ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi
jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”
(“ Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya
kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya
menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar.
…..”)
Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah
yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa
pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat
dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng
Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia
selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling
serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama,
keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus
dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi
Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan
Sabdo Palon berikut ini :
Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa
tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit
saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan
Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh
lajêr Jawi, …..
….., dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”
(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang
menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai
dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang
Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja
Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam
mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)
Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di
bumi Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari
berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun
2007, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya
perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita,
walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam wasiat leluhur sangat
toleransif sifatnya. Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya,
keberadaan Semar diyakini berupa “suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”,
artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud
berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia
tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”.
Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep
“menitis” dan “Cokro Manggilingan”.
Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami
bahwa Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya merupakan
sosok Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan
:
“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda
têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat,
Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging
kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”
(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)
Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati
yang selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah
berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar
ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan
piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia
fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti. Jadi
Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi
tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta
memiliki sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge winarah).
Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah untuk
melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua
keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya kepada “tuan”nya. Semar
atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki
Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, dan lain-lain.
Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara
Sabdo Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum
berpisah Sabdo Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang
mengandung prediksi tentang sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut
ungkapan-ungkapan itu :
“….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami
Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical,
rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi
ingkang mangrêti.”
(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam,
meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa
yang memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri
jawa-nya), Jawi-nya hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”
“….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa
ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong
jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.”
(“….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau
ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa,
yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”)
Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya
bahwa suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa
(tiyang Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan
bahwa ada saat nanti datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai
nama sepuh/tua (bisa jadi “mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang
teguh kawruh Jawa akan mengajarkan dan memaparkan kebenaran dan
kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan akibat-akibatnya
dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di dalam
ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa
mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual
(seorang pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit
dan Begawan Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :
“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong,
nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak
waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara
Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon
ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko
Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong,
namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian
berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi
Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah
Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di
tanah seberang.”)
Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu
Brawijaya berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah
seberang yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk
mengetahui lebih lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji
sedikit tentang Ramalan Sabdo Palon berikut ini.
Ramalan Sabdo Palon
Karena Sabdo Palon tidak berkenan berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan sabdanya sbb :
3. Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama
Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang
anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus
pinasthi sayekti kula pisahan.
(Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu,
sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini
yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris
kita harus berpisah.)
4. Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur
petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci,
Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang
agami, Gama Buda kula sebar tanah Jawa.
(Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu
kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama
Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.)
5. Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu
kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur
atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen
wus njeblug mili lahar.
(Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan
jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya
hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya
ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.)
6. Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika
medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad
satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging
kalamunta kaowahan.
(Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah
pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh
Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi
bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.)
7. Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan
tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng
tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah
sirna manungsa prapteng pralaya.
(Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon
Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di
tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan
manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.)
8. Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring
gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing
sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti
ana kang akarya.
(Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak
Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya.
Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang
membuatnya.).
Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon
menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya.
Perlu kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang
Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke
asal mulanya adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai
wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo. Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan
kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya akan datang kembali di bumi
tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda tertentu.
Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke
arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti
bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam
dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul: “Semar
Ngejawantah”.
Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung
Merapi tahun lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat
statusnya menjadi yang tertinggi : “Awas Merapi”. Saat kejadian malam
itu lahar merapi keluar bergerak ke arah “Barat Daya”. Pada hari itu
tanggal 13 Mei 2006 adalah malam bulan purnama bertepatan dengan Hari
Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama
“Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan yang menyatu,
yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua satuan ini
dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal, bulan
dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ).
Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at
sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang
hakekat dari “bumi sap pitu” dan “langit sap pitu” yang berasal dari
Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan angka 8 merupakan lambang delapan
penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita
kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”. Artinya dalam kejadian ini delapan
kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang
Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam kawruh Jawa, Sang
Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa.
Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana
turunnya dewa ke bumi (menitis).
(Bersambung)
Selasa, 11 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar