Majlis Fatwa MUI di Padang memutuskan bahwa : Golput Haram, bagaimana menurut anda ?
Setelah
membaca teks fatwa yang dimaksud, saya tidak menemukan kalimat "Golput
Haram", barangkali itu hanya plintiran mass media. Kesimpulannya bahwa
Fatwa MUI dalam masalah ini mengandung lima butir. Kebanyakan isinya
masih bersifat umum, hanya saja ada beberapa butir yang perlu dicermati,
diantaranya adalah butir pertama yang menyebutkan bahwa : " Pemilihan
umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau
wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita
bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa." Pengertian
pemilihan umum yang disebutkan oleh MUi masih mengambang dan membutuhkan
kejelasan.
Begitu juga pada butir kelima yang berbunyi : "
Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana
disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal
ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram."
Butir kelima dari fatwa tersebut mengandung dua hal :
Pertama
: Memilih pemimpin yang tidak memenuhi kriteria adalah haram. Padahal
kenyataannya dalam dunia perpolitikan Indonesia yang masih menganut
sistem demokrasi sekuler ini, belum kita temukan pemimpin yang memenuhi
kriteria yang telah disebutkan MUI, sehingga – menurut fatwa MUI di
atas- haram hukumnya bagi umat Islam untuk memilih salah satu calon yang
ada. Ini juga berarti sebaliknya bahwa golput adalah wajib. Maka, fatwa
ini perlu dikaji ulang.
Adapun isi fatwa pada bagian kedua
adalah bahwa : " Tidak memilih sama sekali, padahal ada calon yang
memenuhi syarat hukumnya adalah haram."
Kenyataannya, kita tidak
mendapatkan pemimpin yang memenuhi syarat. Taruhlah, ada pemimpin yang
memenuhi kriteria yang ditetapkan MUI- dan ini sulit di dapatkan – tetap
saja fatwa tersebut sulit diterapkan, karena sistem kepemimpinan yang
dianut oleh Indonesia adalah kepemimpinan kolektif ( partai ), yang di
topang oleh demokrasi sekuler, sehingga seorang pemimpin yang baik
bagaimanapun juga, tidak akan bisa banyak berbuat, selama pengaruh
partai masih dominan.
Sebenarnya, permasalahannya bukan pada
pemimpin, tetapi pada sistem yang salah. Oleh karenanya, yang kita
harapkan dari MUI adalah fatwa bahwa sistem politik yang dianut bangsa
Indonesia adalah sistem demokrasi sekuler yang bertentangan dengan
Islam, dan wajib bagi umat Islam kembali kepada sistem politik Islam
yang berdasarkan “ Syura “ dan mengangkat Dewan Syura atau Ahlul Halli
wal Aqdi - bukan DPR/ MPR- dari para ulama yang konsisten dan para ahli
dalam bidangnya yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam
Islam.
2.Sebagian masyarakat menilai ada nuansa politik dibalik fatwa itu, benarkah demikian ?
Menurut
saya, memang ada nuansa politik di balik fatwa tersebut, salah satu
indikasinya bahwa fatwa ini muncul setelah adanya usulan atau desakan
dari ketua MPR yang notabenanya adalah salah satu mantan ketua partai
politik yang berbasis Islam, bahkan diprediksikan dia termasuk salah
satu bakal calon presiden atau wakil presiden yang akan ikut bertarung
pada pemilu 2009 nanti. Kenyataan seperti ini, berpotensi menimbulkan
kecurigaan bahwa munculnya fatwa semacam ini – jika dipahami darinya
bahwa " golput haram ", - dan ini tidak benar – akan bisa dimanfaatkan
untuk mendongkrak perolehan suara pada pemilu nanti. Bisa jadi, MUI
dengan fatwa ini tidak bermaksud kearah itu, tapi pihak lain bisa saja
menyalah gunakan fatwa tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya.
3/ Bagaimana sebenarnya hukum syar’I memilih pemimpin ?
Islam
telah meletakkan garis-garis besar tentang tata cara memilih pemimpin.
Walaupun para ulama belum menyepakati tentang aturan baku dalam hal ini,
tetapi paling tidak, ada kaidah-kaidah yang bisa dijadikan pedoman,
diantaranya adalah :
Pemimpin yang dipilih harus memenuhi
kriteria yang disebutkan dalam Al Qur’an dan Sunnah, dan tidak harus
dicalonkan oleh salah satu partai politik. Tetapi dengan beberapa
cara-cara yang telah dilakukan kaum muslimin dahulu, diantaranya adalah :
pemimpin yang lama memilih dan mengangkat langsung pemimpin baru sebagi
penggantinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar terhadap Umar,
atau dengan cara musyawarah, sebagaimana yang dilakukan oleh Muhajirin
dan Anshor ketika memilih Abu Bakar menjadi khalifah, atau dengan cara
pemimpin yang lama membentuk Ahlu Halli wa Al Aqdi yang terdiri dari
para ulama dan tokoh –tokoh masyarakat kemudian mereka memilih pemimpin
yang sesuai dengan kriteria syar’i, dan ini pernah dilakukan Umar bin
Khattab ketika mengangkat Utsman bin Affan sebagai khalifah.
4/ Bagaimana menurut anda Pemilu ditinjau dari sisi Syari’at Islam ¿
Pemilu yang ada sekarang ini kurang sesuai dengan Syari’at Islam, paling tidak dari dua sisi :
Pertama
: Calon pemimpin ditentukan oleh partai yang mendapatkan suara banyak,
dan ini tidak tepat, mestinya pemimpin yang dicalonkan adalah yang
memenuhi kriteria yang telah ditentukan syari’ah, bukan yang mendapatkan
suara terbanyak dalam partai.
Kedua : Cara memilih dengan
menyamakan seluruh elemen masyarakat, yaitu seorang ulama disamakan
suaranya dengan seorang pelacur, atau seorang profesor disamakan
suaranya dengan preman. Padahal Islam jelas-jelas telah membedakan
antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Gambaran ini
sangat jelas dalam “ konsep Ijma’ “ yaitu kesepakatan orang-orang
berilmu ( dalam bidang Syari’at ) dalam suatu hukum tertentu.
Kesepakatan ini harus diikuti oleh masyarakat umum, walaupun yang
bersepakatan itu jumlahnya sedikit. Ini menunjukkan bahwa orang berilmu
dihormati di dalam Islam dan pendapatnya sangat berbobot, bahkan bisa
saja pendapat satu ulama sebanding dengan pendapat satu juta orang yang
bukan ulama.
Oleh karena itu, cara yang tepat adalah bahwa untuk
menentukan pemimpin sebuah negara seluas Indonesia ini, mestinya cukup
dengan orang-orang tertentu yang memang memiliki keahlian dalam bidang
tersebut.
5. Bagaimana hubungan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai Islam ¿
Secara
garis besar prinsip demokrasi bertentangan dengan prinsip Islam, karena
demokrasi mengembalikan segala urusan kepada rakyat, baik urusan itu
sudah diatur dalam Islam atau belum, disini rakyat diposisikan sebagai
pembuat aturan secara mutlak. Sedang Islam menyuruh umatnya untuk
mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rosul-Nya, ulama atau
pemimpin hanya berijtihad atau bermusyawarah pada hal-hal yang belum
diatur secara rinci di dalam Al Qur’an dan Sunnah. Memang ada sebagian
nilai-nilai demokrasi yang sesuai dengan Islam, tapi itu hanya sedikit
saja, dan yang sedikit ini tidak bisa merubah status demokrasi, sehingga
dia tetap bertentangan dengan Islam.
Sumber
Selasa, 11 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar