Apa yang anda bayangkan jika kalian mendengar kata “Viking”. Pasti yang ada dibenak
kalian sebuah bayangan sosok pejuang yang mengenakan helm perang yang
bertanduk. Perampok dan pelaut ulung yang ditakuti dan terkenal kejam.
Mungkin seperti itulah kira-kira yang akan muncul dalam bayangan kalian.
Namun perlu diketahui, bahwa Bangsa Viking itu sebenarnya tidak seperti
yang kalian bayangkan dan yang sering digambarkan saat-saat ini.
Penggambaran Viking yang identik dengan helm bertanduk itu adalah salah.
Dan ini jadi stigma soal bangsa Viking.
Nyatanya, helm bertanduk hanya digunakan pada periode-periode awal dan
khusus saat melakukan upacara keagamaan mereka saja. Jadi, ketika
berperang dan menjelajah laut, helm mereka biasa saja tanpa tanduk yang mengerikan.
Bangsa Viking memang dikenal sebagai kaum penakluk di dataran Eropa
sekitar abad ke-8 hingga 11 Masehi. Battle of Hasting di tahun 1066
tercatat dalam sejarah sebagai perang besar terakhir bangsa ini - walau
tak menutup kemungkinan ada perang lain bila bukti arkeolog ditemukan.
Selama periode tersebut, mereka memang menjadi pelaut-pelaut ulung.
Banyak kisah
yang menggambarkan kekejaman mereka ternyata penuh bumbu dongeng
belaka. Meskipun menjarah dan membumi-hanguskan banyak desa, bangsa
Viking juga terlibat dalam misi perdagangan termasuk bermukim di
tempat-tempat baru. Mulai dari Inggris, Skotlandia, Irlandia, Normandia
hingga Islandia.
Ada satu fakta yang bisa merubah paradigma kita, sehubungan dengan
Amerika. Banyak bukti arkeolog ditemukan bangsa Viking 500 tahun lebih
awal menginjakan kaki di Amerika dibanding Columbus.
Pada tahun 986, Bjarni Herjolfsson meninggalkan perkampungan Viking di
Norwegia dengan tujuan Islandia. Ia medengar cerita bahwa ayahnya yang
pergi lebih dahulu dengan rombongan pelaut yang dipimpin Erik The Red
dan berhasil mencapai sebuah wilayah yang hijau dan subur, disebut
Greenland.
Bjarni mulai berlayar saat musim dingin tiba. Cuaca buruk dan berkabut
menghempas kapalnya hingga jauh dari tujuan. Sampai akhirnya ia berhasil
menemukan daratan, tapi berbeda dengan cerita yang didengarnya. Daerah
ini bergunung-gunung. Akhirnya ia melepas sauh lagi dan berlayar menuju
Timur sampai akhirnya mencapai Greenland dan bertemu koloni Erik The
Red.
Putra Erik, Leif Eriksson tertarik dengan kisah Bjarni. Apalagi saat
musim dingin di Greenland sangat susah mencari kayu. Sementara Erik
berkata, pulau yang pernah dikunjungi saat tersesat lebih hijau dan
alamnya lebih bersahabat.
Dengan kapal milik Bjarni, Leif mengajak 35 orang bersamanya berlayar
mencari pulau yang dikisahkan tersebut. Akhirnya Leif dan rombongan
berhasil mencapai Pulau Baffin (Kanada bagian Timur Laut). Tapi tempat
ini banyak gletsyer. Lalu mereka berlayar lebih jauh hingga mencapai
pantai berpasir putih yang indah. Di sinilah mereka berlabuh, dan menamakan tempat tersebut Marklandia (The Forest Land).
Rombongan Leif terus menjelajah wilayah tersebut sampai menemukan tempat
terbaik untuk membangun koloni, yang akhirnya dinamai Vinlandia (The Wine Land)
karena salah seorang anggota rombongan menemukan pohon anggur.
Sayangnya, setelah beberapa waktu, koloni tersebut kembali pulang ke
Greenland.
Kisah ini sempat menjadi misteri selama berabad-abad. Sampai di tahun 1960 dan 1970-an para arkeolog menemukan reruntuhan rumah
di Newfoundland (L'Anse Aux Meadows village). Mereka juga menemukan
artefak-artefak berbahan logam yang diperkirakan berasal dari tahun 1000
M.
Tahun 90-an, arkeolog juga menemukan artefak dari batu dan dikenali
sebagai bagian dari peninggalan jaman Viking. Berbagai bukti ini semakin
menguatkan bahwa bangsa Viking telah lebih dulu menginjakkan kaki di
Amerika. Hanya tersisa pertanyaan yang masih membingungkan peneliti,
mengapa Leif dan rombongannya tidak menetap di Amerika (Kanada) padahal
alam di sana jauh lebih bersahabat dibandingkan dengan Greenland.
Sumber
Senin, 24 Maret 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar