Biasanya, Perang Salib dibagi menjadi delapan periode, yaitu :
1. Periode 1095-1101;
2. Periode 1145-1147;
3. Periode 1188-1192;
4. Periode 1204;
5. Periode 1217;
6. Periode 1239;
7. Periode 1249-1252;
8. Periode 1270.
Pada
dasarnya Perang Salib adalah kebijakan politik Gereja Katolik,
khususnya para Paus yang selama periode itu lebih berkuasa daripada
raja-raja yang ada di bangsa-bangsa Eropa. Terjadinya Reformasi yang
dipimpin oleh Martin Luther mulai tahun 1517 telah membawa perubahan
besar dalam pandangan dunia Kristen terhadap peranan agama Kristen dalam
perang dan penginjilan. Karena terjadi Reformasi yang dipimpin Martin
Luther pada tahun 1517, maka rencana Paus Leo X untuk mengadakan Perang
Salib baru pada tahun tersebut agar supaya merebut kembali kota
Konstantinopel (Istambul) batal. Konstantinopel telah direbut Islam pada
tahun 1453 oleh Ottoman Sultan Mehmed II. Para pemimpin Reformasi,
Gerakan Protestan yang dipimpin Luther menyatakan bahwa Perang Salib
adalah dosa, karena Tuhan telah memakai orang-orang Turki untuk
menghukum dunia Kristen Katolik, karena dosa-dosanya sangat banyak.
Sebetulnya, di wilayah Palestina, laskar-laskar Salib diusir secara
total pada tahun 1291, ketika mereka diusir dari kota Acre. Setelah itu,
wilayah Palestina memasuki “masa kegelapan” karena pemerintahan dengan
kekerasan oleh Kerajaan Mamluk dari Mesir ditambah beberapa pandemi
penyakit.
Masa Ayyubid – Mamluk
Pada
tahun 1187, Salah al-Din (Saladin) telah menetapkan kembali pemerintahan
Abbasid atas Fatimid Misir dan menaklukkan kota Yerusalem. Selama 700
tahun berikut, Yerusalem dikuasai oleh pemerintahan Islam (Abbuyid dan
Ottoman). Walau Salah al-Din berkemurahan atas masyarakat yang tidak
berperang dan memelihara semua tempat ibadah, tapi ia berusaha untuk
menghapuskan semua tanda hadirnya para laskar Perang Salib.
Bangunan-bangunan yang dianggap milik Islam dan telah dipakai sebagai
Gereja, seperti Mesjid Dome of the Rock, dikembalikan untuk dipakai
sebagai mesjid lagi dan sejumlah besar bangunan pemerintahan Kristen
dijadikan bangunan Islam (Idinopulos, Thomas A.; Jerusalem Blessed,
Jerusalem Cursed; Ivan R. Dee: Chicago; 1991; hal. 250-251).
Akibat
buruk dari Perang Salib adalah merosotnya posisi masyarakat Kristiani
di Tanah Suci. Dulu, sejak tentara Islam masuk ke Palestina dari
pertengahan abad ke-7, umat Kristiani sebagai minoritas diberi hak dan
hormat di bawah pemerintahan Islam. Setelah Pemerintahan Perang Salib,
atau Kerajaan Gereja Katolik berkuasa, maka hak-hak mereka malah
berkurang. Karena ancaman Perang Salib Ketiga, Salah al-Din dan para
penerusnya membangun kembali tembok-tembok Yerusalem. Namun, baru
selesai dibangun pada tahun 1219, keponakan Salah al-Din, al-Malik al
Mu’azzam ‘Isa, memberi perintah untuk membongkar kembali semuanya.
Setelah itu, banyak penduduk yang meninggalkan kota Yerusalem, karena
dianggap tidak aman dan mustahil dilindungi dari serangan. Hanya setelah
320 tahun berlalu, pada zaman Ottoman, tembok-tembok kota diperbaiki
kembali. Selama masa singkat, pemerintahan Kaisar Hohenstaufen,
Frederick II (1229-1244), yang tidak efektif sehingga terjadi
pengungsian massal lagi dari kota Yerusalem. Serangan Khawarism Turki
membantai 7000 penduduk Kristen yang diam di Yerusalem, kecuali 300
penduduk yang telah melarikan diri ke Yoppa.
Pada tahun 1260
tentara Mamluk, laskar budak Turki yang telah menjadi tentara elit
kalahkan oleh semua sarangan dari laskar Salib dan dari tentara Mongol
di Perang Ein Jalut di Lembah Yizreel. Setelah itu, Yerusalem
hampir-hampir tidak berpenduduk lagi. Tetapi, setelah Kesultanan Mamluk
menegakkan kembali hukum dan tata tertib kota, sebagian kecil masyarakat
kembali lagi ke kota Yerusalem dan merasa aman walau temboknya belum
dibangun kembali. Namun, pemerintahan tidak mengembangkan ekonomi kota
atau berbuat banyak agar menarik lebih banyak penduduk untuk kembali.
Menjelang kedatangan Kerajaan Ottoman, di Yerusalem tercatat ada 44
madrasah. Hal ini menunjukkan adanya sedikit peningkatan dalam sarana
pendidikan, walaupun pendidikan berdasarkan agama Islam.
Pada
tahun 1275, Marco Polo sempat singgah di Yerusalem dalam perjalanannya
ke China. Ia menjelaskan bahwa kota itu sangat kecil dengan sedikit saja
penduduknya. Pada tahun 1348, Maut Hitam mulai melanda Yerusalem dan
lebih dari 50% penduduk meninggal atau meninggalkan Yerusalem. Lalu,
pada tahun 1438 dicatat bahwa Rabbi Obadiah dari Bertinoro, Italia,
datang ke Yerusalem untuk memberi bimbingan kepada masyarakat Yahudi
yang masih bertahan di kawasan Yerusalem. Pada akhir zaman Mamluk,
ternyata Yerusalem begitu hancur sehingga jumlah total penduduknya hanya
kira-kira 4000 jiwa. Bukan lagi kota malah hanya bersifat desa saja.
Orang Yahudi bertahan di Palestina 1097-1518
Para
Laskar Salib membenci kaum Yahudi karena mereka dituduh sebagai bangsa
yang terlaknat dengan membunuh Yesus. Pada abad ke-11 Laskar Salib sama
sekali tidak berkemurahan atas masyarakat Yahudi dan berusaha
melenyapkan mereka dengan semua tanda tradisi dari Israel, namun tidak
berhasil. Pada tahun 1165, Benjamin dari Tudela, seorang musafir Spanyol
menemukan bahwa "Akademi Yerusalem" telah didirikan di Damascus, Suria.
Walau tentara Laskar Salib hampir saja "melenyapkan" masyarakat Yahudi
dari Yerusalem, Acre, Kaisaria dan Haifa, tapi tetap saja ada
orang-orang Yahudi yang tidak mau berangkat, termasuk kawasan Galilea
dan beberapa lagi perkampungan Yahudi ternyata mampu bertahan. Kota Acre
telah menjadi pusat pendidikan Yahudi di Palestina pada abad ke-13.
Sebagiannya beragama Kristen walaupun mayoritas beragama Yahudi dan
hidup damai bersama masyarakat Muslim. Dengan keadaan yang lebih aman
selama abad ke-12 dan abad ke-13, makin banyak orang Yahudi mulai
kembali ke Israel dari pengungsiannya di Afrika Utara dan dari wilayah
Islam di Semenanjung Arabia (Parkes, Whose Land?, hal. 97-110).
Masyarakat
Yahudi dari Gaza, Ramle dan Safed dianggap "pemandu ideal" di Tanah
Suci pada abad ke-14, kata Jacques dari Verona, seorang pastor yang
berziarah ke Palestina. Dia mencatat bahwa ada "masyarakat Yahudi yang
sudah lama tinggal di kaki Bukit Sion, di Yerusalem". Pastor itu
berkata, “seorang peziarah yang ingin melihat kota-kota tua di Tanah
Suci tidak akan dapat menemukannya tanpa pemandu yang baik, yang
mengenal tempat-tempat dan sejarahnya dengan teliti karena
pengetahuannya diturunkan kepadanya turun-temurun. Jadi, tiap kali saya
ke sana saya dapat minta dan memperolah pemandu yang sangat baik dari
kalangan Yahudi.” (Martin Gilbert, Exile and Return, The Struggle for a
Jewish Homeland (Philadelphia and New York, 1978), hal. 17.)
Banyak
orang Yahudi yang kembali dari pengungsian semakin bertambah dan mereka
tidak pernah lagi meninggalkan Palestina. Pada tahun 1486, jumlah orang
Yahudi semakin bertambah banyak. Itulah pengamatan Wakil Pastor
Katedral Mainz, Jerman, Bernhard von Breidenbach. Setelah penganiayaan
Gereja Katolik di Spanyol atas orang Yahudi dan Kristen Protestan pada
1518, maka semakin banyak orang Yahudi kembali ke Palestina dan dapat
hidup relatif aman di bawah pemerintahan Ottoman.
Gaza 1481
Sejarah
telah mencatat bahwa Kota Gaza adalah kota makmur dalam masa
pemerintahan Mameluk. Pada tahun 1481, Meshulam dari Volterra, peziarah
Yahudi menemukan bahwa ada 60 keluarga Yahudi yang telah tinggal di Kota
Gaza di bawah pelindungan pemerintah Mamluk.
Apakah Penduduk Mayoritas Palestina bangsa Arab?
Setelah
tentara Islam mengalahkan Kerajaan Roma dan mulai berkuasa di kota
Yerusalem pada tahun 638, maka terjadilah migrasi penduduk Arab dari
Semenanjung Arabia ke berbagai negara di Afrika Utara, Mesir, wilayah
Palestina, Suria dan Iraq. Ini adalah masa kejayaan Islam. Tentaranya
mampu dengan semangat juang yang tinggi dan para ilmuwan Islam telah
berkembang pesat dan menjadi terkenal. Buah pemerintahan dari seluruh
wilayah Khilafah Islam menarik penduduknya untuk merantau dan memakan
hasil kemenangannya di berbagai daerah. Hal ini makin nyata dalam
pembahasan berikut tentang Khilafah Ottoman 1517-1917, dan menjadi
periode yang sangat berpengaruh atas latar belakang situasi Timur Tengah
di masa kini, yang kian hari kian berbahaya. Oleh sebab itu, janganlah
kita bodoh terhadap sejarah, karena sejarah masa lampau merupakan kunci
untuk memahami masa kini dan arah perjuangan yang semakin nyata.
Sumber
Minggu, 06 April 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar