Sejarah Arya Damar
Adityawarman/
Arya Damar yang bergelar Udayadityawarman Prataparakramarajendra
Mauliwarmadewa, adalah seorang panglima Majapahit abad ke-14 yang
kemudian menjadi uparaja (raja bawahan) Majapahit untuk wilayah
Sumatera. Dikatakan bahwa Arya Damar menjadi raja di Palembang, sebab
penulis babad Jawa menganggap Palembang yang dulunya pusat Sriwijaya,
mengacu pada Melayu atau Sumatera. Sebenarnya Arya Damar alias
Adityawarman bukan menjadi raja di Palembang melainkan di Hulu Batang
Hari Jambi, tepatnya di Kerajaan Darmasraya yang merupakan kerajaan
kakeknya yaitu Prabu Mauliwarmadewa yang merupakan ayah dari Dara Jingga
ibu dari Adityawarman.
Adityawarman adalah
pendiri Kerajaan Pagaruyung di Sumatra Barat pada tahun 1347, dan ia
adalah seorang panglima Kerajaan Majapahit yang berdarah Melayu. Ia
adalah anak dari Adwaya Brahman seorang kerabat Raja Kertanegara dari
Kerajaan Singhasari yang memangku jabatan sebagai Menteri Hino yaitu
jabatan tertinggi setelah Raja pada masa pemerintahan Kerajaan
Singhasari.
Dalam
beberapa babad di Jawa dan Bali, Adityawarman juga dikenal dengan nama
Arya Damar dan merupakan sepupu sedarah dari pihak ibu dengan raja
Majapahit kedua, yaitu Sri Jayanagara atau Raden Kala Gemet. Nama
Adityawarman sendiri berasal dari kata bahasa Sansekerta, yang artinya
kurang lebih ialah "Yang berperisai matahari" (adhitya: matahari,
varman: perisai). Adityawarman dibesarkan di lingkungan istana
Majapahit, yang kemudian membuatnya memainkan peranan penting dalam
politik dan ekspansi Majapahit. Hal ini antara lain terlihat bahwa
setelah dewasa, ia diangkat menjadi Wrddhamantri atau menteri senior,
bergelar "Arrya Dewaraja Pu Aditya".
Adanya
prasasti pada Candi Jago di Malang (bertarikh 1265 Saka atau 1343 M),
yang menyebutkan bahwa Adityawarman menempatkan arca Maňjuçrī (salah
satu sosok bodhisattya) di tempat pendarmaan Jina (Buddha) dan membangun
candi Buddha di Bumi Jawa untuk menghormati orang tua dan para
kerabatnya.
Asal-usul Adityawarman
Untuk mengetahui
siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil dari
ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275 dibawah pimpinan
Mahesa Anabrang , Setelah ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu rombongan
ekspedisi kembali ke Jawa, mereka membawa dua orang putri dari Prabu
Sri Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa yaitu Dara Jingga dan Dara Petak dari
kerajaam Damasraya. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah runtuh dan
telah muncul kerajaan baru sebagai penerus kerajaan Singhasari yaitu
kerajaan Majapahit. Raden Wijaya yang bergelar Sri Rajasa Jayawardhana
adalah raja Majapahit pada waktu itu sehingga kedua putri tersebut
diserahkan kepada Raden Wijaya. Oleh Raden Wijaya, Dara Petak kemudian
diambil sebagai selir dengan gelar Indreswari. Dari perkawinan tersebut
lahir Jayanegara yang menjadi Raja Majapahit ke dua.
Sedangkan
Dara Jingga kemudian menikah dengan Adwaya Brahman seorang kerabat Raja
Kertanegara dari Kerajaan Singhasari yang memangku jabatan sebagai
Menteri Hino yaitu jabatan tertinggi setelah Raja pada masa pemerintahan
Kerajaan Singhasari. Dari pernikahan tersebut lahir putra yang bernama
Adityawarman . Nama kecil Adityawarman yaitu “Tuhan Janaka“ atau Aji
Mantrolot. Dengan demikian Adityawarman merupakan keturunan dari dua
darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan Sumatera dan satu darah
bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua yaitu Jayanegara adalah
saudara sepupu dari Adityawarman.
Adityawarman
sendiri menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini menunjukkan kalau ia
adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja. Maka, dapat disimpulkan kalau
Dara Jingga dan juga Dara Petak adalah putri dari raja Dharmasraya
tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa keduanya lahir dari permaisuri
raja Malayu bernama Putri Reno Mandi.
Adityawarman
lahir tepatnya di Siguntur dekat nagari Sijunjung. Setelah dewasa
Adityawarman kembali ke Majapahit, tempat dia dididik disekeliling pusat
pemerintahan dalam suasana keraton Majapahit. Kesempatan yang
didapatkan karena Adityawarnan masih bersaudara sepupu dengan Jayanegara
yang merupakan Raja Majapahit pada waktu itu. Mengenai tempat kelahiran
Adityawarman dan hubungan kekeluargaannya dengan Kerajaan Majapahit
diperkuat oleh Pinoto yang mengatakan, bahwa Adityawarman adalah seorang
putera Sumatera yang lahir di daerah aliran Sungai Kampar dan besar
kemungkinan dalam tubuhnya mengalir darah Majapahit. Hubungan dengan
kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan politis.
Adityawarman
dididik ilmu perang dan ilmu kertatanegaraan oleh Majapahit sehingga di
keraton Majapahit kedudukan Adityawarman sangat tinggi, yaitu
berkedudukan sebagai salah seorang menteri atau perdana menteri yang
diperolehnya bukan saja karena hubungan darahnya dengan raja Majapahit
tetapi juga berkat kecakapannya sendiri. Adityawarman mempunyai
kedudukan yang setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih Gajah Mada. Karena
itu Adityawarman adalah salah seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit.
Tahun
1325 raja Jayanegara mengirim Adityawarman sebagai utusan ke negeri
Cina yang berkedudukan sebagai duta. Bersama dengan Patih Gajah Mada,
Adityawarman ikut memperluas wilayah kekuasaan Majapahit di Nusantara.
Tahun 1331 Adityawarman memadamkan pemberontakan Sadeng dengan suatu
perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim kembali menjadi utusan ke
negeri Cina dengan kedudukan sebagai duta.
Setelah Bali berhasil ditundukkan, Adityawarman akhirnya kembali ke Majapahit dan atas jasa-jasanya oleh Ratu Tribuana Wijaya Tunggadewi pada tahun 1347 Adityawarnan diangkat sebagai wakil (uparaja) Kerajaan Majapahit di Sumatra untuk menanamkan pengaruh Majapahit di Sumatra. Adityawarman memutuskan pergi ke Sumatra karena dengan lahir dan semakin dewasanya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman untuk menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat. Pada sisi lain, kedatangan Adityawarman ke Darmasraya selain menemui kakeknya, juga mempunyai tugas khusus yaitu merebut kembali daerah Lada Sungai Kuntu dan Sungai Kampar.
Dahulu sesudah “Pamalayu” menurut ceritanya, daerah kaya ini tunduk pada kekuasaan Singosari. Setelah Kerajaan Singosari runtuh dan Majapahit belum lagi begitu kuat, daerah-daerah Kuntu / Kampar tersebut dapat direbut oleh Kesultanan Aru-Barumun yang telah memeluk agama Islam.
Setelah Bali berhasil ditundukkan, Adityawarman akhirnya kembali ke Majapahit dan atas jasa-jasanya oleh Ratu Tribuana Wijaya Tunggadewi pada tahun 1347 Adityawarnan diangkat sebagai wakil (uparaja) Kerajaan Majapahit di Sumatra untuk menanamkan pengaruh Majapahit di Sumatra. Adityawarman memutuskan pergi ke Sumatra karena dengan lahir dan semakin dewasanya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman untuk menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat. Pada sisi lain, kedatangan Adityawarman ke Darmasraya selain menemui kakeknya, juga mempunyai tugas khusus yaitu merebut kembali daerah Lada Sungai Kuntu dan Sungai Kampar.
Dahulu sesudah “Pamalayu” menurut ceritanya, daerah kaya ini tunduk pada kekuasaan Singosari. Setelah Kerajaan Singosari runtuh dan Majapahit belum lagi begitu kuat, daerah-daerah Kuntu / Kampar tersebut dapat direbut oleh Kesultanan Aru-Barumun yang telah memeluk agama Islam.
Pada
tahun 1347 Adityawarman dinobatkan menjadi Raja Minangkabau bergelar
Dang Tuanku (Sutan Rumandung). Pernikahan Adityawarman dengan Puti
Bungsu melahirkan anak yang bernama Ananggawarman. Hal ini dapat
dibuktikan dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian belakan arca
Amogapasa dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu Adityawarman memakai
nama :
“Udayadityawarman Pratakramarajendra Mauliwarmadewa” dan bergelar “Maharaja Diraja”
Adityawarman dididik dan dibesarkan di Majapahit dan pernah menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, sehingga paham betul dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian corak pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung. Hal ini dibuktikan pada prasasti yang ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang oleh Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.
Selama pemerintahannya Adityawarman
berusaha membawa kerajaan Pagaruyung ke puncak kejayaannya. Dalam usaha
memajukan kerajaan itu Adityawarman mengadakan hubungan dengan luar
negeri, yaitu dengan Cina. Tahun 1357, 1375, 1376 Adityawarman mengirim
utusan ke negeri Cina. Pemerintahan Adityawarman Pagaruyung yang
berlangsung dari tahun 1349 sampai 1376, kerajaan Pagaruyung berada di
puncak kejayaannya. Bahkan dapat dikatakan pada waktu itu Indonesia
bagian barat dikuasai kerajaan Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur
berada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit. Kalau dizaman Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang, kerajaan Minangkabau
terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya, maka dizaman Bundo
Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan Minangkabau terkenal
dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima perangnya.
Adityawarman Penganut Budha Tantrayana
Adityawarman Penganut Budha Tantrayana
Adityawarman
adalah tokoh penting dalam sejarah Minangkabau. Di samping
memperkenalkan sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga
membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kontribusinya
yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Budha. Agama ini pernah
punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Terbukti dari nama
beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau
Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur,
dan Selo.
Adityawarman
diperkirakan penganut yang taat dari agama sinkretis Buddha Tantrayana
dan Hindu Siwa, sebagaimana yang banyak dianut oleh para bangsawan
Singhasari dan Majapahit. Ia diperlambangkan dengan Arca Bhairawa
Amoghapasa. Selama masa pemerintahannya di Pagaruyung, Adityawarman
banyak mendirikan biaro (bahasa Minang, artinya Vihara) dan Candi
sebagai tempat pemujaan Dewa Yang Agung. Sampai sekarang, masih dikenal
nama tempat Parhyangan yang kemudian berubah tutur menjadi Pariangan,
yaitu di Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat
Arca Bhairawa Museum
Nasional di Jakarta ditemukan di kawasan persawahan di tepi sungai di
Padang Roco, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Arca Bhairawa dengan
tinggi hampir 3 meter ini merupakan jenis arca Tantrayana. Arca Bhairawa
tidak dalam kondisi utuh lagi, terutama sandarannya. Arca ini tidak
banyak dijumpai di Jawa, karena berasal dari Sumatera. Sebelum ditemukan
hanya sebagian saja dari arca ini yang menyeruak dari dalam tanah.
Masyarakat setempat tidak menyadari bahwa itu merupakan bagian dari arca
sehingga memanfaatkannya sebagai batu asah dan untuk menumbuk padi. Hal
ini dapat dilihat pada kaki sebelah kirinya yang halus dan sisi dasar
sebelah kiri arca yang berlubang.
Arca
Bhairawa tangannya ada yang dua dan ada yang empat. Namun arca di sini
hanya memiliki dua tangan. Tangan kiri memegang mangkuk berisi darah
manusia dan tangan kanan membawa pisau belati. Jika tangannya ada empat,
maka biasanya dua tangan lainnya memegang tasbih dan gendang kecil yang
bisa dikaitkan di pinggang, untuk menari di lapangan mayat damaru/
ksetra. Penggambaran Bhairawa membawa pisau konon untuk upacara ritual
Matsya atau Mamsa. Membawa mangkuk itu untuk menampung darah untuk
upacara minum darah. Sementara tangan yang satu lagi membawa tasbih.
Wahana atau kendaraan Syiwa dalam perwujudan sebagai Syiwa Bhairawa
adalah serigala karena upacara dilakukan di lapangan mayat dan serigala
merupakan hewan pemakan mayat. Walaupun banyak di Sumatera, beberapa
ditemukan juga di Jawa Timur dan Bali. Bhairawa merupakan Dewa Siwa
dalam salah satu aspek perwujudannya. Bhairawa digambarkan bersifat
ganas, memiliki taring, dan sangat besar seperti raksasa. Bhairawa yang
berkategori ugra (ganas).
(gambar kanan: Siwa berdiri di atas mayat bayi korban dan tengkorak)
Arca ini berdiri di
atas mayat dengan singgasana dari tengkorak kepala. Arca Siwa Bhairawa
ini konon merupakan arca perwujudan Raja Adithyawarman, pendiri Kerajaan
Pagaruyung di Sumatra Barat pada tahun 1347. Nama Adityawarman sendiri
berasal dari kata bahasa Sansekerta, yang artinya kurang lebih ialah
“Yang berperisai matahari” (adhitya: matahari, varman: perisai).
Di dekat Istano Basa, Batusangkar, ada sekelompok batu prasasti yang menceritakan tidak saja sejarah Minang, tapi sepenggal sejarah Nusantara secara utuh. Dari buku panduan disebutkan bahwa batu-batu prasasti yang disebut “Prasasti Adityawarman” itu menghubungkan Nusantara secara keseluruhan berkaitan dengan Kerajaan Majapahit.
(Bersambung)
ngapain sih pusingin politik,coba pikirkan aj kebutuhan hidup kita yang semakin lama semakin tinggi .
BalasHapuskami memberikan solusi dengan bergabung bersama kami di https://goo.gl/6xmLC6 agar hidup menjadi lebih baik..SEGERA!!!