Bukit Siguntang dikeramatkan sejak jaman Sriwijaya Kemasyhuran Bukit Siguntang tidak hanya berkutat di Palembang, tetapi menyebar hingga ke seluruh Sumatera, Malaysia, dan Singapura. Kawasan perbukitan di Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang, Sumatera Selatan, itu menjadi cikal bakal pertumbuhan Kerajaan Melayu. Hingga kini Bukit Siguntang merupakan cikal bakal Kerajaan Malaka. Bukit Siguntang pernah menjadi pusat Kerajaan Palembang yang dipimpin Parameswara, adipati di bawah Kerajaan Majapahit.Sekitar tahun 1511, Parameswara memisahkan diri dari Majapahit dan merantau ke Malaka. Di sana dia sempat bentrok dengan pasukan Portugis yang hendak menjajah Nusantara. Adipati itu menikah dengan putri penguasa Malaka, menjadi raja, dan menurunkan raja-raja Melayu yang berkuasa di Malaysia, Singapura, dan Sumatera. Sekitar tahun 1554 muncul Kerajaan Palembang yang dirintis Ki Gede Ing Suro, seorang pelarian Kerajaan Pajang, Jawa Tengah. Kerajaan ini juga mengeramatkan Bukit Siguntang dengan mengubur jenazah Panglima Bagus Sekuning dan Panglima Bagus Karang.
Situs Bukit Siguntang di Kelurahan Bukit Lama, Ilir Barat I, Palembang, tidak dilengkapi teks yang menjelaskan sejarah kompleks itu. Kondisi itu membuat sejarah keberadaan bukit yang dikenal pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Palembang itu kabur dan pengunjung kebingungan. Situs Bukit Siguntang merupakan kawasan perbukitan yang memiliki tujuh makam tokoh yang terkenal dalam cerita tutur rakyat. Ketujuh makam itu adalah Makam Raja Sigentar Alam, Panglima Tuan Djundjungan, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Pangeran Raja Batu Api, Panglima Bagus Sekuning, dan makam Panglima Bagus Karang. Makam-makam itu berbentuk bangunan makam dari tembok atau batu yang berada dalam rumah. Pada makam itu hanya diberi keterangan nama tokoh yang terkubur, tanpa satu teks yang menjelaskan siapa tokoh itu, riwayat hidupnya, dan perannya dalam sejarah Palembang. Sebagian besar pengunjung yang mendatangi situs kebingungan. Apalagi, beberapa juru kunci menceritakan versi sejarah yang berbeda-beda.
Kedua tokoh itu berjasa memimpin pasukan kerajaan saat menundukkan pasukan Kasultanan Banten yang menyerang Palembang. Sultan Banten, Sultan Hasanuddin, tewas dalam pertempuran sengit itu. Tetapi, ada juga versi sejarah yang menyebutkan, makam Bagus Sekuning yang sebenarnya justru ada di kawasan Bagus Kuning, di Plaju, Palembang. Jauh sebelum itu, Bukit Siguntang menjadi pusat keagamaan pada masa Kerajaan Sriwijaya yang berkembang sampai abad ke-14. Sejumlah peninggalan dari kerajaan yang didirikan Dapunta Hyang Srijayanasa itu ditemukan di sini. Ada kemudi kapal Sriwijaya yang ditemukan di kaki bukit, ada arca Buhda Amarawati, dan prasasti Bukit Siguntang yang menjadi bukti penting keberadaan Sriwijaya. "Jadi, Bukit Siguntang itu memang kawasan yang dikeramatkan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, pemerintahan perwakilan Majapahit, dan Kerajaan Palembang. Sampai sekarang pun bukit itu masih dikeramatkan dengan diziarahi banyak pengunjung,"
Sosok Adityawarman dari penerawangan beberapa sumber yang telah didatangi beliau dalam mimpinya, menyatakan bahwa Adityawarman berperawakan tinggi besar, berpakain serba hitam dan rambut panjang serta dikiri kanannya terselip pedang dengan ukuran panjang dan pendek. Dalam kaitannya dengan Adityawarman , Bukit siguntang diyakini sebagai tempat disimpannya salah satu senjata andalan beliau yaitu pecut yang selalu dibawa dalam setiap pertempuran yang dilaluinya. Pada hari hari tertentu paranormal banyak berdatangan ke daerah tersebut untuk memohon berkah dan berkeinginan memiliki senjata tersebut, namun untuk memilikinya bukan hal yang mudah karena dibutuhkan syarat syarat tertentu dan orang tersebut harus keturunan langsung dari Adityawarman. Adapun senjata pecut tersebut secara kasat mata tidak kelihatan namun bagi orang orang tertentu yang memiliki tingkat ilmu kebatinan yang tinggi pecut tersebut berwarna keemasan dan melingkar ditopang oleh dua buah penyangga. Pecut tersebut terakhir kali di pegang oleh Kyai Jambe Pule yang menjadi raja di Kerajaan Badung dan setelah beliau wafat pecut tersebut kembali lagi keasalnya yaitu Bukit Siguntang.
Penaklukan Bali
Nama Arya Damar ditemukan dalam Kidung Pamacangah dan Usana Bali sebagai penguasa bawahan di Palembang yang membantu Majapahit menaklukkan Bali pada tahun 1343. Dikisahkan, Arya Damar memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara, sedangkan Gajah Mada menyerang
dari selatan dengan jumlah prajurit yang sama. Di dalam beberapa babad
di Jawa dan Bali, Adityawarman juga dikenal dengan nama Arya Damar.
Adityawarman turut serta dalam ekspansi Majapahit ke Bali pada tahun
1343 yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada. Dalam catatan Babad Arya
Tabanan, disebutkan bahwa Gajah Mada dibantu seorang Ksatria bernama
Arya Damar, yang merupakan nama alias Adityawarman.
Dari uraian Kitab Purana Bali Dwipa dinyatakan "
Perang Arya Dhamar saking kulwan anekani perang lan sutanire anama Arya
Kenceng, Arya Dhalancang, arya Tan Wikan (Arya Belog) " yang artinnya bahwa pada waktu Adityawarman ke Bali ikut serta pura beliau yaitu
- Arya Kenceng
- Arya Dhalancang
- Arya Tan Wikan ( Arya Belog )
Arya
Damar diperkirakan lahir tahun 1294 M dan pada waktu ekspedisi
Majapahit ke Bali tahun 1343 beliau diperkirakan berusia 50 tahunan
sehingga sudah sewajarnya mempunyai putra yang sudah menginjak dewasa
dan ikut serta berperang membantu ayahnya.
Kerajaan
Bedahulu adalah kerajaan kuno yang berdiri sejak abad ke-8 sampai abad
ke-14 di pulau Bali, dan diperintah oleh raja-raja keturunan wangsa
Warmadewa. Ketika menyerang Bali, Raja Bali yang menguasai saat itu
adalah seorang Bhairawis penganut ajaran Tantrayana. Untuk mengalahkan
Raja Bali itu, maka Adityawarman juga menganut Bhairawis untuk
mengimbangkan kekuatan.
Kembali
ke sejarah Arya Damar dalam ekspedisi Majapahit Ke Bali, Setelah Gajah
Mada mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyerang Bali
maka terjadilah ekspedisi Gajah Mada ke Bali pada tahun 1334 dengan
Candrasangkala Caka isu rasaksi nabhi (anak panah, rasa, mata pusat).
Pasukan Majapahit dipimpin oleh Gajah Mada sendiri bersama panglima
perang Arya Damar dibantu oleh beberapa Arya. Setelah sampai di pantai
Banyuwangi, tentara Majapahit berhenti sebentar untuk mengatur siasat
peperangan. Dari Hasil perundingan tersebut diputuskan untuk menyerang
bali dari 3 arah yang berbeda sebagai berikut :
- Dari Arah TimurPenyerangan Bali dari arah timur akan dipimpin oleh Patih Gajah Mada bersama dengan para patih keturunan Mpu Witadarma, Krian Pemacekan, Ki Gajah Para, Krian getas akan mendarat di Toya Anyar
- Dari Arah UtaraPenyerangan Bali dari arah utara akan dipimpin oleh Arya Damar bersama dengan Arya Sentong dan Arya Kutawaringin akan mendarat di Ularan.
- Dari Arah Selatan
- Penyerangan Bali dari arah utara akan dipimpin oleh Arya Kenceng bersama dengan Arya Belog (Tan Wikan) Arya Pengalasan dan Arya Kanuruhan akan mendarat di pantai Kuta
Kedatangan
prajurit Majapahit tersebut membuat Pulau Bali bagaikan bergetar,
rakyat Bali menjadi panik dan melaporkan hal tersebut kepada pangeran
Sri Madatama yang merupakan putra mahkota kerajaan Bali serta kehadapan
Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Setelah mendengar laporan tersebut,
Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten kemudian mengutus putranya pangeran
Sri Madatama untuk menyelidiki kebenaran berita tersebut. Setelah
memastikan kebenaran berita tersebut Krian Pasung Grigis beserta para
patih lainnya segera punggawa menyiapkan pasukannya masing masing dengan
membagi pasukan menjadi 3 sesuai arah pengepungan pasukan dari
Majapahit.
- pertahanan di wilayah Utara dijaga oleh Ki Pasung Grigis, Si Buwan dan Krian Girikmana.
- Pertahanan di wilayah Barat dijaga oleh Sri Madatama, Ki Tambyak, Ki Walumgsingkat dan Ki Gudug Basur.
- Pertahanan di wilayah Timur dijaga oleh Ki Tunjung Tutur, Kom Kopang dan Ki Tunjung Biru.
Dalam perang tanding yang berlangsung sangat seru tersebut masing masing menunjukkan kesaktiannya untuk secepatnya melumpuhkan musuhnya, sampai akhirnya Si Girikmana tidak mampu menandingi kesaktian Arya Damar sehingga gugur dalam pertempuran sebagai kesatria sejati. Gugur pula dari pihak kerajaan Bali Krian Jembrana sebagai prajurit yuda. Pasukan Majapahit di wilayah Selatan dibawah pimpinan Arya Kenceng menggempur habis habisan, tiada henti hentinya mengurung pasukan musuh dari segala arah. Pasukan Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak mulai terdesak dan banyak yang mati terluka.
Dalam keadaan terdesak Ki Tambyak berhasil mengalahkan Kyai Lurah Belambangan. Tubuhnya dilemparkan oleh Ki Tambyak sehingga terpelanting ke tempat yang agak jauh. Kyai Lurah Belambangan menghembuskan napasnya yang terakhir, gugur sebagai prawira yuda yang gagah berani. Melihat kawan seperjuangannya gugur, Arya Balancang, Arya Sentong, Arya Wangbang dan Kyai Banyuwangi maju bersamaan untuk mengimbangi kekuatan musuh.
Ki Tambyak adalah seorang patih kerajaan Bali yang sangat teguh dan sakti sehingga sulit untuk dikalahkan, kalau hal tersebut terus dibiarkan maka makin banyak korban yang berjatuhan dari pihak Majapahit. Untuk menghindari hal tersebut maka pimpinan pasukan Majapahit di wilayah selatan yaitu Arya Kenceng memutuskan menghadapi langsung Ki Tabyak. Dalam pertempuran satu lawan satu tersebut masing masing pihak berusaha saling mengalahkan. Karena hebatnya perang tanding tersebut prajurit dari kedua belah pihak sampai menghentikan pertempuran untuk menyaksikan kedua tokoh sakti tersebut saling mengalahkan. Namun demikian ternyata Arya Kenceng dapat memanfaatkan kelengahan Ki Tambyak sehingga dapat terus menekannya. Ki Tambyak akhirnya gugur dalam pertempuran sampai kepalanya terpisah dari badannya.
Dengan gugurnya Ki Tambyak pertahanan Bali di wilayah selatan menjadi lemah karena hanya menyisakan Ki Gudug Basur. Dalam Pertempuran tersebut Ki Gudug basur diserang dari segala arah oleh para Arya dari Majapahit. Namun I Gudug basur ternyata mempunyai ilmu yang sangat tinggi yaitu teguh, kebal oleh senjata apapun sehingga para Arya mengalami kesulitan untuk mengalahkannya. Namun demikian walaupun tubuhnya tidak dapat terluka apabila terus menerus digempur dari segala arah lama kelamaan Ki Gudig Basur kehabisan tenaga dan sehingga dapat dikalahkan oleh pasukan dari Majapahit. Dengan Gugurnya Ki Gudug Basur dan Ki Tambyak maka daerah Seseh, Tralangu, Padang Sambian, Kedonganan, Benua, jimbaran, Kuta, Mimba, Suwung, Sesetan, Tuban, Renon, Batankendal, Sanur, Tanjungbungkah, Kaba Kaba, Kapal, Tanah barak, Camagi, Munggu, Parerenan, Dukuh, Kemoning, Pandak, Kelahan, Pancoran, Babahan, Keliting, Cengkik dan Kerambitan dapat dikuasai oleh Prajurit Majapahit dibawah pimpinan Arya Kenceng.
Sisa sisa langkar Bedahulu yang masih tersisa setelah mengalami kekalahan dalam pertempuran menyelamatkan diri dan mengungsi ke daerah Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munti, Bonyoh, Tarobayan, Serahi, Sukawana, Panarajon, Kintamani, Pludu, Manikliu, dan ada pula yang mengungsi ke daerah timur seperti Culik, Tista, Margatiga, Muntig, Got, Garbawana, Lokasarana, Garinten, Sekul Kuning, Puhan, Hulakan, Sibetan, Asti, Watuwayang, Kadampai, Bantas, Turamben, Crutcut, Datah, Watidawa, Kutabayem Kemenangan Pasukan Majapahit di wilayah selatan yang dipimpin oleh Arya Kenceng melengkapi kemenangan pasukan Majapahit yang terlebih dahulu berhasil mengusai wilayah Utara dan Timur Pulau Bali sehingga praktis semua daerah pesisir Bali dapat dikuasai.
Sekarang tinggallah Krian Pasung Grigis yang bertahan di desa Tengkulak di wilayah Bali Bagian Tengah. Pertempuran yang terjadi berakhir dengan kekalahan Bedahulu, dan patih Bedahulu Kebo Iwa gugur sementara raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten pergi mengasingkan diri. Setelah Bali berhasil ditaklukan, Arya Damar kembali ke Majapahit. Sebagian kerabat Arya Damar ada yang menetap di Bali, dan di kemudian hari salah seorang keturunan dari Arya Damar mendirikan Puri Denpasar dan Puri Pemecutan di Denpasar.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar