Banjir di Ibu Kota
Jakarta sudah menjadi siklus menahun. Setiap musim hujan – apalagi
dengan intensitas tinggi – dipastikan akan membuat Jakarta nyaris
lumpuh. Bukan kali pertama Jakarta di landa banjir hebat. Sejarah
mencatat Jakarta pernah dilanda banjir besar pada tahun 1621, 1654, dan
1918. Selanjutnya banjir besar juga terjadi pada tahun 1976, 1996, 2002,
dan 2007. Sekarang baru saja memasuki tahun baru, kembali ibukota
negara lumpuh akibat air bah tumpah di mana-mana, bahkan hingga ke
istana negara.
Sungguh mengherankan dan memalukan kejahilan manusia –bukan murni
bencana alam– terus berulang-ulang tanpa ada pelajaran berharga yang
dapat diambil sebagai kebijakan yang tepat. Kita bertanya; pernahkah ibu
kota negara-negara Barat seperti London, Washington, Berlin, Moskow
dilanda banjir berulang setiap tahun?
Menyalahkan cuaca sebagai penyebab banjir adalah lari dari tanggung
jawab dan menutup mata dari penyebab utamanya; yakni keserakahan dan
sikap abai terhadap pengurusan rakyat. Keserakahan pemerintah –khususnya
pemerintah DKI Jakarta– terlihat dari bertambahnya titik banjir setiap
tahun. Hal ini dikarenakan pemerintah DKI membiarkan, lebih tepatnya
mengizinkan kawasan itu diubah menjadi pemukiman dan kawasan komersial.
Dalam kurun waktu lima tahun sebanyak 56 situ di Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi telah menghilang. Yang tersisa pun
mengalami pendangkalan dan kerusakan parah karena diabaikan oleh pemda.
Sedangkan luas total situ di Jabodatabek berkurang drastis yaitu
2.337,10 hektare untuk total 240 situ, sekarang menjadi hanya 1.462,78
hektare untuk 184 situ.
Padahal dengan potensi 42 danau, 13 sungai, kanal barat dan timur,
serta curah hujan yang cukup besar hingga kapasitas 2 miliar kubik per
tahun, seharusnya penduduk Jakarta bisa memiliki air tanah dan air
bersih yang melimpah.
Akan tetapi keserakahan para penguasa dengan mengatasnamakan
pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah merusak lingkungan, kongkalikong
dengan kapitalis dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Maka program
penanggulangan banjir apapun, termasuk rencana pembangunan deep tunnel
tidak akan menyelesaikan persoalan. Karena akar persoalannya bukanlah
pada tata ruang wilayah, akan tetapi pada ideologi yang dianut oleh
seluruh penguasa negeri ini di daerah maupun pusat. Persoalan banjir di
ibu kota –dan wilayah manapun– akan terus terjadi bila penguasa tidak
memiliki kemauan politik (political will) mengurus kepentingan publik.
Sejarah kekhilafahan Islamiyyah telah menunjukkan betapa syariat
Islam sanggup menciptakan pemerintah yang peduli pada masyarakat dan
menjaga lingkungan mereka. Misalnya di Provinsi Khuzestan, daerah Iran
selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang
dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir.
Bendungan-bendungan tersebut di antaranya adalah bendungan Shadravan,
Kanal Darian, Bendungan Jareh, Kanal Gargar, dan Bendungan Mizan. Di
dekat Kota Madinah Munawarah, terdapat bendungan yang bernama Qusaybah.
Bendungan ini memiliki kedalaman 30 meter dan panjang 205 meter.
Bendungan ini dibangun untuk mengatasi banjir di Kota Madinah. Di masa
kekhilafahan ‘Abbasiyyah, dibangun beberapa bendungan di Kota Baghdad,
Irak. Bendungan-bendungan itu terletak di sungai Tigris. Pada abad ke
13 Masehi, di Iran dibangun bendungan Kebar yang hingga kini masih bisa
disaksikan.
Kebusukan penguasa dan sistem yang saat ini diterapkan yang
menyebabkan ibukota dan berbagai wilayah di tanah air setiap musim
penghujan mengalami bencana banjir. Dengan mengubah pola pikir dan
sistem sekarang menuju Islam maka persoalan ini tidak akan terjadi
berlarut-larut seperti tanpa jalan keluar. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
Sumber
Sabtu, 15 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar