Selasa, 17 Desember 2013
Filled Under:
YAHUDI
Tokoh-Tokoh Yahudi Perusak Pemikiran (2-Habis)
Posted By:
Unknown
on 09.51
AHAD, (29/7/2012), saya bertemu dengan salah seorang kandidat Doktor Filsafat di Belgorad State University. Beliau menjelaskan pengalaman-pengalaman uniknnya selama tinggal di Rusia. Khususnya pandangannya terhadap seks bebas di Negeri Beruang Merah tersebut.
Pria 40 tahunan itu mengatakan pada saya bahwa Rusia untuk urusan seks tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Karena sepanjang hubungan itu dilakukan suka sama suka, maka tidak akan menuai masalah. Problem baru terjadi ketika cinta dilakukan dengan adanya unsur pemaksaan. “Seperti pemerkosaan,” katanya.
Makanya tidak heran meski ada lembaga pernikahan, tapi gelombang perzinahan betul-betul massif di Rusia. Rusia bukan negeri tanpa agama, tapi mereka bukanlah negara yang menjadikan agama sebagai sumber undang-undang. Kristen sendiri di Rusia bisa jadi mati layaknya di negara Eropa pada umumnya.
Mendengar pernyataan dari Kandidat Doktor Filsafat di Rusia itu, kita tentu ingat nama seorang Tokoh Yahudi bernama Lawrence Kohlberg (1927-1987). Bagi anda yang aktif dalam bidang pendidikan maupun psikologi tentu tidak asing mendengar nama professor di Amerika Serikat tersebut. Ia adalah tokoh kunci di balik maraknya program pendidikan Karaktker.
Perspektif Karakter dalam terminologi Kohlberg memang sangat bermasalah. Bagi pendidikan karakter, anak yang melakukan hubungan seks tidak tergolong dosa sepanjang itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Artinya, jika seorang perempuan hamil karena hubungan haram tersebut, maka sang pacar siap untuk menjadi ayahnya. Jadi Kohlberg mau mengatakan bahwa yang jadi masalah bukan hubungan zina-nya, tapi bentuk tanggung jawabnya. Dalam pemahaman Islam, tentu ini bermasalah.
Islam mengajarkan siapapun yang melakukan perzinahan tanpa didahului hubungan pernikahan, maka dia tergolong dosa besar. Terlepas ia mau bertanggungjawab atau tidak. Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria al-muhshân (belum menikah), maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk)”. [An-Nûr/24:2].
Sedangkan pelaku perzinahan yang sudah menikah akan dikenakan hukum rajam (dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ kaum muslimin. Ayat yang menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu ‘anh menjelaskan dalam khuthbahnya :
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada NabiNya dan diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan hukuman rajam dan kamipun telah
melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran meninggalkan kewajiban yang Allah Azza wa Jalla telah turunkan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshân), bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri”.
Kohlberg sendiri memilki rekam jejak dalam nuansa zionis yang kuat. Ketika perang dunia kedua berakhir tahun 1945, Kohlberg melakukan perjalanan ke Eropa untuk menuntaskan misi pembentukan Negara Israel raya. Dia kemudian mengajukan diri untuk membantu menyelundupkan pengungsi Yahudi keluar dari Eropa dengan melalui blokade Inggris ke Palestina. Atas keberaniannya itu, Kohlberg sempat ditangkap dan ditahan di Siprus. Sebab pengiriman bangsa Yahudi ke Palestina termasuk kejahatan Internasional kala itu. Namun barisan militer Yahudi, Haganah, berhasil menyelamatkan Tokoh Pendidikan Karakter ini. Kohlberg pun berhasil bebas dan kembali ke Amerika pada tahun 1948.
Kohlberg sendiri menemukan ‘ilham’ dalam merancang pendidikan karakter dari Sistem Kibbutz di Israel. Sistem Kibbutz adalah sistem yang lebih mirip sistem dalam konsep komunisme. Mengenai hal ini, Karl Marx pernah berkata bahwa “ideologi dari para pendiri kibbutz sangat dipengaruhi oleh sosialisme dan zionisme. Dasar pendiriannya dipengaruhi oleh dua dasar ideologi ini: pengalaman pahit dengan antisemitisme yag terjadi di diaspora. Mereka juga dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan patriakhalis yang diwarisi dari Eropa Timur. Dari dasar inilah para pendiri kibbutz mempraktikkan di dalam pemukiman-pemukiman mereka. Mereka menganut sistem tidak ada kelas dalam masyarakatnya. Masing-masing dari anggotanya ‘memberikan apa bisa dia perbuat’ dan ‘akan mendapatkan akan apa yang dia perlukan” (Wikipedia)
Memang pada intinya sistem Kibbutz ini sangat kental mewarnai konsep pendidikan Karakter bahwa baik-buruk suatu nilai ditentukan dalam sebuah konsep yang disepakati manusia secara bersama-sama. Jadi Hukum Tuhan tidak berlaku. Persis seperti negara komunis.
Oleh karena itu, sangat wajar sekali jika Profesor Dadang Hawari, dalam dialog dengan saya beberapa waktu lalu, mengatakan betapa hancurnya Amerika Serikat sebagai sebuah negara. Karena perzinahan, homoseks, lesbianisme menjamur dimana-mana atas nama kebebasan melaksanakan Hak Asasi Manusia. Ya hak asasi untuk bebas dari aturan Tuhan.
“Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita. “
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tanggal 4 Februari tahun 1921. Pada giliranya Friedan berkembang menjadi seorang aktivis feminis Yahudi Amerika kenamaan pada durasi medio 1960-an. Puncak momentumnya terjadi setelah ia berhasil mengarang “The Feminine Mystique“. Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peranan wanita dalam masyarakat industri. Di situ, Friedan mengkritik habis peran ibu rumah tangga penuh waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari penghargaan terhadap hak wanita.
Buku Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique berubah menjadi “kitab suci” bagi kaum wanita dan ia digadang-gadang sebagai pencetus feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu dunia abad 18.
Teori yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang disebut oleh Freidan dengan istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu ανήρ (anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender.
Namun sejatinya, kata Androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi Yahudi.
Akan tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia feminisme, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future of Liberal Feminism, Eisenstsein mengkritik,
“Tidak pernah jelas apakah pengaturan ini seharusnya meringan beban ganda perempuan (keluarga dan pekerjaan) atau secara signifikan menstruktur ulang siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini dilaksanakan?”
Henry Makow dalam tulisannya Gloria Steinem: How the CIA Used Feminism to Destabilize Society telah menjelaskan dengan baik bagaimana peran CIA dalam memobilisir isu feminisme. Pakar konspirasi kenamaan ini mengatakan bagaimana media elit telah menciptakan feminisme gelombang kedua sebagai bagian dari agenda elit untuk meruntuhkan peradaban dan mendirikan New World Order. Kesalahpahaman utama kita tentang CIA, kata Makow, adalah bahwa CIA melayani kepentingan AS. Nyatanya, ia selalu menjadi instrumen dinasti elit minyak dan perbankan internasional (Rothschild, Rockefeller, Morgan) yang dikoordinasi oleh Royal Institute for Internal Affairs di London dan cabang mereka di AS, Council for Foreign Relations. Lembaga ini didirikan dan diisi oleh orang-orang berdarah biru dari penguasa perbankan New York dan lulusan perkumpulan pagan rahasia, “Skull and Bones”.
Jutaan pria Amerika pun akhirnya dilemahkan dan dipisahkan dari hubungannya dengan keluarga (dunia dan masa depan). Wanita Amerika diperdaya hingga mencurahkan diri dalam karir keduniaan ketimbang dalam kasih-sayang tiada akhir kepada suami dan anak-anaknya. Banyak wanita sudah tak layak untuk menjadi isteri dan ibu. Orang-orang, yang terisolasi dan sendirian, terhalangi (pertumbuhannya) dan lapar akan kasih sayang, mudah sekali dibodohi dan dimanipulasi. Tanpa pengaruh sehat kedua orangtua yang mencintai, begitulah anak-anak mereka jadinya.
Penindasan terhadap wanita adalah kebohongan. Pembagian peran berdasar jenis kelamin tak pernah sekaku yang dipropagandakan kaum feminis. “Ibu saya sukses menjalankan bisnis impor tali arloji dari Swiss pada tahun 1950-an. Saat pendapatan ayah saya meningkat, dia bersedia berhenti dan berkonsentrasi mengurus anak-anak. Wanita bebas mengejar karir jika mereka mau. Bedanya, dahulu peran mereka sebagai isteri dan ibu dipahami, dan disahkan secara sosial, sebagaimana mestinya. Hingga Gloria Steinem dan CIA datang bersama-sama,” jelas Makow panjang lebar.
Walhasil, Feminisme adalah penipuan besar-besaran yang dilakukan terhadap masyarakat oleh elit pemerintahnya. Hal itu dirancang untuk memperlemah struktur sosial dan budaya Amerika dalam rangka mengenalkan New World Order sebagai sebuah fasisme yang ramah. Para pendukungnya adalah orang-orang berlagak suci yang menjadi kaya dan berpengaruh darinya. Mereka meliputi golongan pendusta dan timpang moral yang bekerja untuk elit dalam beragam kapasitas: pemerintahan, pendidikan, dan media. Para penyamar ini harus dibongkar dan dicemooh.
Besar, berbadan kokoh, dengan rerimbunan pohon mengelilinginya. Itulah gambaran Universitas tertua di Israel: Hebrew University. Ia didirikan di tanah haram. Tanah sah milik bangsa Palestina yang terang-terangan dicuri demi Israel Raya. Tak heran dari kampus tua ini lahir bejibun aktor pendukung Zionisme Israel. Kurikulum pun dirancang sedemikian rupa demi menelurkan sederetan orientalis yang angkuh. Ada yang merusak, ada pula yang merombak. Sasarannya adalah tatanan dunia Islam; dari ilmu hingga budaya.
Salah satu nama yang jarang dikenal atas keberhasilan Hebrew dalam merusak studi Islam adalah Joseph Horovits. Judah Magnes, Orientalis Yahudi keturunan Jerman yang merintis lahirnya Islamic Studies di Hebrew ini melihat bakat intelektualitas Horovits yang mampu menggabungkan Studi Islam dan Yahudi secara teologis. Atas pengaruh Judah Magnes pula, Horovits terpilh menjadi dewan pimpinan di universitas yang berdiri tahun 1918 tersebut.
Herry Nurdi dalam bukunya Belajar Islam Dari Yahudi menjelaskan bahwa Horovits sejatinya adalah seorang Yahudi ortodoks dari seorang rabbi di Frankurt. Karirnya dalam dunia orientalisme sebenarnya dimulai sepanjang tahun 1907 hingga 1914. Kala itu ia menjadi direktur dalam proyek Islamic Inscription Departement di bawah pemerintahan India. Kemampuannya menjadi orientalis terus terasah hingga dalam perjalanannya ke Frankfurt ia mengirim memorandum kepada Judah Magnes agar segera membentuk Institute of Arabic and Islamic Studies; ya insitut yang kelak akan menjadi Universitas yang disegani di dunia Arab; Hebrew.
Horovits juga menyarankan agar pimpinan insitut sebaiknya dimpimpin oleh Sarjana Yahudi dari Amerika atau Eropa dan berharap beberapa pelajaran yang dikaji diantaranya tafsir, hadits, fiqih, dan sejarah Islam. Horovits kemudian menyertakan delapan daftar nama Yahudi orientalis yang ia sarankan untuk memimpin proyek ini, termasuk dirinya sendiri.
Pada tahun 1926, Judah Magnes akhirnya menyetujui Horovits sebagai Direktur yang dapat mengendalikan operasi institut kajian Islam ini dari jauh, di Eropa tepatnya. Dan pada 22 April 1926, berlangsung pertemuan pertama guru-guru Yahudi membahas rencana besar ini di Jerusalem. Mereka di antaranya adalah Horovits, Magnes, Billig, Mayer, Baneth, dan Ginsberg. Di Jerusalem itulah mereka mulai menyusun dan merancang rencana kerja penelitian. Billig ditugaskan untuk mengkoordinasi rencana-rencana penelitian dibantu dua orang asistennya. Dan Horovits ditugaskan untuk melakukan kajian sastra klasik Arab.
Salah satu proyek ambisius Horovits adalah menerbitkan Ansab Al-Ashraf of Baladhuri, sebuah proyek yang disebut Horovits sebagai sebuah metode memahami Al Qur’an. Tapi hingga kini , proyek prestisius ini tak kunjung usai. Dari 10 jilid yang direncanakan, baru rampung dua jilid saja.
Salah satu murid Horovits yang kemudian “menjadi” atas tempaannya adalah SD. Goiten. Ia langsung datang ke Israel dari Berlin pada tahun 1928. Di Israel, Goiten mengajar ilmu-ilmu bible dan kelak menjadi salah satu orientalis Yahudi yang sangat proaktif mengeluarkan karya-karyanya yang cukup sengit menyerang Islam.
Sejak awal Hebrew University memang mencoba untuk membahas Islam dalam dua tema besar. Pertama, kekayaan peradaban Islam; terutama pada zaman pertengahan dan kedua menyelami bahasa-bahasa Arab klasik yang nantinya akan digunakan sebagai senjata untuk menyerang sumber-sumber Islam seperti Al Qur’an dan ajaran di dalamnya. Semua ini harus mereka pelajari dengan tujuan menaklukan dunia Islam demi kejayaan Israel raya.
Muhammad Al Bahiy, seperti dikutip oleh Mohammad Natsir Mahmudi dalam bukunya Orientalisme Al Qur’an di Mata Barat, juga menyiratkan hal senada. Ia mengemukakan ada dua motivasi para orientalisme yang sangat terkait erat pada misi politis terhadap umat Islam.
Pertama, tidak terlepas pada dominasi untuk memperkokoh Imperialisme Barat atas Negara-negara Islam. Kedua, memperkuat semangat perang salib dengan mengatasnamakan kajian Ilmiah dan kemanusiaan. Ya nyanyian lazim para pelantun Zionisme dengan cita-cita membangun dunia tanpa agama dan hanya menyisakan Yahudi sebagai nilai yang pantas dianut. Sebagaimana termaktub dalam protocol of Zion pasal 14.
“Diupayakan di dunia ini hanya satu agama, yaitu agama Yahudi (inti ajaran agama yahudi adalah pemujaan materi atau paham materialisme, pen). Oleh karena itu segala keyakinan lainnya harus dikikis habis. Kalau dilihat di masa kini, banyak orang yang menyimpang dari agama. Pada hakekatnya kondisi seperti itulah yang menguntungkan yahudi. Di masa akan datang masyarakat dunia akan berduyun-duyun memasuki agama Musa yang menundukkan mereka berada di bawah telapak kaki yahudi. Pada saat itu, suara kritikan hanya tertuju kepada agama selain yahudi. Orang tak akan berani menelanjangi agama kita. Karena rahasia yang terkandung dalam ajaran agama Yahudi sangat dalam, dan ajarannya selalu diperjuangkan oleh pendeta-pendeta kita. Segala karya tulis yang mengkritik agama kita tidak diperkenankan terbit dan tersebar di masyarakat. Kita terus berjuang menyebar-luaskan tulisan sastra picisan di masyarakat negara adidaya.”
Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar