SUATU ketika dalam diskusi di kantor Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), DR. Adian Husaini salah seorang cendekiawan muslim Indonesia menceritakan lawatannya selama 22 hari di Inggris. Ia menjelaskan bagaimana geliat perkembangan liberalisme dan keilmuan di Negeri Lady Diana tersebut. Namun yang menarik adalah ketika beliau sampai pada pengalaman bercengkarama dengan warga Yahudi dan Sinagog-sinagog yang ada disana.
DR. Adian menceritakan bagaimana orang Yahudi begitu serius mengkaji pemikiran. Mereka rela menetap puluhan jam di perpustakaan hanya untuk belajar ilmu pengetahuan. Mereka makan di perpus, minum di perpus, dan mandi pun juga disana. Begitu kenang DR. Adian.
Jika kita meneliti lebih jauh, sebenarnya kecintaan Yahudi terhadap ilmu menjadi wajar untuk mereka lakukan. Fakta bahwa Yahudi adalah bangsa minoritas -dan memiliki sejarah tertindas- membuat mereka tidak berbuat banyak selain mempertahankan diri mereka. Mulai dari memperbanyak keturunan, bergerak dalam bidang ekonomi, sampai pada satu tahapan melemahkan pemikiran kelompok-kelompok di sekitar mereka. Namun cara itu tidak akan dapat dilakukan tanpa proses internalisasi ajaran Yahudi betul-betul menyatu terhadap generasi mereka.
Proses internalisasi itu setidaknya dimulai dari bagaimana mereka mempelajari kitab-kitab Yahudi seperti taurat, talmud, mishnah, siddur, dan lain sebagainya. Tiap hari-khususnya hari sabtu- mereka disibukkan dengan mendaras teks-teks Yahudi. Pendidikan ini biasanya dipimpin oleh seorang rabbi yang sudah menguasai teologi Yahudi secara baik.
Satu hal penting untuk dikuasai Yahudi adalah bahasa. Rahel Halabe, seorang praktisi pendidikan Bahasa Ibrani yang terkenal di kalangan Yahudi pernah menulis sebuah buku pengantar bahasa Ibrani berjudul “The Introduction to Biblical Hebrew the Practical Way“. Menariknya, mayor pendidikan Halabe justru Sastra dan Bahasa Arab di Hebrew University, Israel.
Dalam tulisannya, Halabe menjelaskan betapa pentingnya penguasaan bahasa Ibrani bagi seorang anak Yahudi. Halabe beralasan, bahasa Ibrani bagi seorang anak Yahudi, tidak saja semata-mata menjadi tuntutan teologis tapi bahasa Ibrani adalah representasi kultur atau budaya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas seorang Yahudi. Halabe kemudian mendelegasikan tulisan Ibrani modern dalam metode pendidikannya. Hal ini tidak saja untuk memudahkan jalan mereka menguasai percakapan bahasa Ibrani dan literatur modern Ibrani, tetapi juga untuk mendukung studi mereka tentang teks-teks teologi klasik Yahudi seperti Siddur dan Mishnah.
“Introducing young students to modern Hebrew literature will not only ease their way into Hebrew conversation and modern Hebrew literature, but will support their study of the classical texts: Bible, Siddur, Mishnah and more. In fact, studying classical Hebrew will, in its turn, support the learning of modern Hebrew, which draws so much from its layered linguistic traditions,” jelasnya.
Akhirnya ketika semua proses itu telah usai, pada gilirannya, Yahudi pun akan memetik hasilnya. Hasil itu adalah berupa generasi dewasa Yahudi yang terpelajar sekaligus menghargai warisan dan budaya mereka. Ya, bukan budaya yang lainnya.
“In fact, studying classical Hebrew will, in its turn, support the learning of modern Hebrew, which draws so much from its layered linguistic traditions. A rich program offering both past and present will help produce educated adult Jews who are well-read and appreciative of their heritage and culture.”
Dan ketika orang-orang Yahudi betul-betul menguasai konsep ajaran agamanya, barulah mereka akan lebih serius “menjajah” ajaran agama lain. Hal ini betul-betul terjadi tak lama setelah Yahudi berhasil melakukan invasi ke Palestina yang kemudian memunculkan Israel sebagai negara mereka.
Salah satu contoh kasus untuk mewakili kajian ini adalah dengan berdirinya Arabic
and Islamic Studies di Hebrew University of Jerusalem atau bisa disingkat sebagai jurusan Studi Islam adan Arab. Dalam bukunya Belajar Islam Dari Yahudi, Herry Nurdi mengatakan bahwa Kajian Islam di Hebrew University sendiri digagas bersamaan dengan keberhasilan zionisme merampas tanah Palestina. Mereka menilai cara menguasai Palestina sebagai representasi islam dengan mengenali agama orang Palestina itu sendiri, yakni Islam.
Bisa dikata, Kajian tentang Islam dan Arab sendiri adalah salah satu kajian tertua di Hebrew University of Jerusalem yang mulanya bernama the School of oriental studies. Namun meski didirikan hanya oleh lima orang Yahudi, jurusan ini kemudian berkembang menjadi jurusan favorit di kampus tersebut. Dan kini tercatat sudah memiliki 32 Profesor dalam bidang Sastra Arab beserta Sejarah Peradaban Islam.
Dan dari Universitas tua di Israel inilah lahir para cendekiawan-cendekiawan Yahudi yang mempromosikan ajaran liberalisme dan bertindak sebagai orientalisme yang sejalan dengan misi kolonialisme, yakni menjajah Islam.
Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu
(pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka
beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang
lain) kamu bunuh? (QS al-Baqarah [2]: 87).
KEBENCIAN kaum Yahudi terhadap umat Islam selalu menjadi
sebuah perbincangan serius di dalam Al Qur’an. Allah berkali-kali
menjelaskan sifat kaum ini yang sungguh tidak rela ketika Islam tumbuh
menjadi agama yang benar. Salah satu misi tersebut kini banyak diemban
oleh para orientalis Yahudi. Salahsatunya adalah Abraham Geiger
(1810-1874).
Bisa dikata Geiger adalah orang yang pertama kali mengatakan Al Qur’an dipengaruhi agama Yahudi. Anda tahu apa judul essainya hingga kemudian memenangkan kompetisi masuk Universitas Bonn tahun 1832? Sangat provokatif, yakni “Apa Yang Diambil Muhammad Dari Yahudi”. Essai ini langsung diseleksi Professor Georg B. F. Freytag dari Fakultas Oriental Studies, Universitas Bonn. Hasilnya, Geiger menang dan mendapat hadiah dari hasil tulisannya. Padahal, saat itu usianya baru 22 tahun
Setahun kemudian essai tersebut lantas diterbitkan dengan judul “Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?”. Seperti dikuti dari buku Adnin Armas, Metodeologi Bibel dalam Studi Qur’an, (dalam tulisannya) Geiger menuding kosa kata Ibrani memiliki pengaruh signifikan. Geiger mengutip sebagian kata dalam Al Qur’an yang identik dengan Ibrani seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘And, Jahannam, Ahbar, darasa, Rabani, Sabt, Thaghut, Furqan, Ma’un, Mathani, Malakut. Geiger juga berpendapat Qur’an terpengaruh ketika mengemukakan, (a) hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin (b) peraturan-peraturan hukum dan moral dan (c) pandangan tentang kehidupan. Selain itu, Geiger berpendapat cerita-cerita yang ada di dalam Al Qur’an pun tidak lepas dari agama Yahudi.
Senada dengan Geiger, seorang Yahudi lainnya bernama Joseph Horovitz juga menulis dua buah tulisan untuk menyatakan peran Bahasa Yahudi dibalik redaksi Qur’an, yakni sebuah buku berjudul Das koranische Untersuchungen (1923) dan sebuah artikel bertuliskan Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran (1925).
Pandangan Geiger ini kemudian diikuti oleh banyak sarjana lainnya, seperti Günther Luling dan Christoph Luxemberg. Karya terbaru yang menghimpun beberapa hasil kajian historis-kritis ala Geiger ini adalah buku yang diedit oleh Tilman Nagel, yaitu Der Koran und sein religiöses und kulturelles Umfeld (2010).
Pesan yang ingin Geiger sampaikan adalah bahwa Qur’an bukanlah sebuah kitab yang suci dan menuding bahwa pada dasarnya Nabi Muhammad bukanlah seorang yang ummi. Pandangan ini banyak ditekankan oleh Geiger.
Hartwig Hirschfeld (1854-1934), seorang Yahudi Jerrnan kelahiran Prussia, juga memfokuskan betapa pentingnya melacak kosa kata asing (Fremdworter) Al-Qur’an. Hirschfeld, yang mendapat gelar doktor ketika berusia 24 tahun, menulis disertasi doktoralnya dengan judul Judische Elemente im Koran. Ein Beitrag zur Koranforschung, Berlin 1878 (Elemen-elemen Yahudi dalam Al-Qur’an. Sebuah Sumbangan untuk Penelitian Al-Qur’an). Delapan tahun kemudian, Hirshfeld menulis Beitrage zur Erklarung des Koran, Leipzig 1886 (Sumbangan untuk Tafsir Al-Qur’an). Ia juga menulis New Researches into the Composition and Exegesis of the Qoran, London, 1901 (Penelitian-penelitian Baru dalam Penulisan dan Tafsir Al-Qur’an).
Menurut Hirshfeld, Muhammad bisa membaca dan menulis. Dalam pandangan Hirshfeld, Muhammad mengetahui aksara Ibrani tatkala berkunjung ke Syiria. Selain itu, fakta menunjukkan Muhammad bisa menulis ketika di Medinah. Sulit dipercaya, tegas Hirshfeld, jika Muhammad tidak bisa menulis ketika ia berusia di atas 50 tahun. Selain itu, Hirshfeld berpendapat banyaknya nama-nama dan kata-kata yang diungkapkan di dalam Al-Qur’an menunjukkan Muhammad salah membaca catatan-catatannya yang dibuat dengan tangan yang tidak memiliki skill (The disfigurement of many Biblical narnes and words mentioned in the Qur’an is due to misreadings in his own notes rnade with unskillful hand).
Pernyataan Geiger, Horovitz dan Hirschfeld sudah jauh-jauh hari dipatahkan Al Qur’an itu sendiri. Allah SWT dalam surat Al Fushilat ayat 44 berfirman, “Dan jika Kami jadikan Al Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”. Apakah (patut Al Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab karena ia adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia di atas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.”
Abu Ubayd menjelaskan sekalipun asal muasal kosakata Qur’an bersinggungan dengan bahasa Asing, tidak serta merta bahwa Al Qur’an berasal dari bahasa lain, karena kosakata asing tersebut sudah terarabkan dan memiliki makna tersendiri. Allah, dalam konsep pra-Islam, berbeda dengan Allah dalam konteks agama Islam. “Ini disebabkan Islam membawa makna baru. Islam telah meluruskan, mengIslamkan ajaran yang salah dari jahiliyah, agama Yahudi dan Kristen,” tegas Prof Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya The Educational Philosophy.
Hal senada juga dikatakan oleh Syed Naquib Al Attas. Dalam bukunya, The Concept Education in Islam, pendekar Ilmu dari Melayu ini mengatakan bahwa Islamisasi yang dilakukan Rasulullah SAW dengan tanda turunnya wahyu menjadikan bahasa sebagai media yang sangat penting. Bahwa hal pertama yang dilakukan al-Qur’an adalah merombak struktur semantik konsep-konsep kunci dalam bahasa Arab Pra Islam dan memberinya makna baru seperti kata Allah, Haji, maupun nikah. Itulah yang membedakan Al Qur’an dan kitab suci lainnya.
Karenanya, seperti dikatakan Sayyid Quthb dalam bukunya Indahnya Al Qur’an Berkisah,
menjelaskan mengapa sebagai sebuah kitab suci, al-Qur’an dapat melumpuhkan bangsa Arab. Pakar sastra ini berkesimpulan rupanya al-Qur’an tidak saja kaya dengan susunan redaksinya, tapi juga mengikat beberapa ayat dengan unsur tasyri (penetapan hukum) yang dirasa adil, detail, dan amat tepat digunakan dalam setiap zaman. Yang ini tidak akan mungkin mencoba diselarsakan dalam konteks bahasa Ibrani dengan menjadikan agama Yahudi sebagai induknya. Karenanya, tuduhan dari Geiger, Horovitz dan Hirshfeld bahwa Al Qur’an menjiplak kata-kata dalam Yahudi menjadi gugur dengan sendirinya.
SEORANG psikolog terlihat resah. Ia diberitahu ada psikolog muslim yang baru saja berhasil menasehati orangtua seorang anak. Pasalnya mungkin tidak sepele, psikolog muslim itu menerima aduan “unik” dari orang tua yang memiliki anak berusia tiga tahun.
Rupanya anak ini memiliki kebiasaan tidak lazim. Ia sering terlihat tidak bisa tenang, mudah meledak dan, juga menyimpan kebiasaan aneh: kerap menggaruk-garuk (maaf) anusnya. Lalu sebagai seorang psikolog muslim, pada orangtua si anak, ia mengatakan bahwa tingkah laku sang anak adalah normal. Dengan ilmu psikologinya, ia menganalisa bahwa perangai itu disebabkan karena anak sedang menjalani tahap perkembangan seksual yang normal pada masa anal. “Itu biasa, bu. Tidak usah khawatir,” begitu kira-kira pesan si psikolog muslim kepada sang ibu.
Mendengar cerita ini, si psikolog tadi tercengang. Ia kaget mendapati seorang seorang psikolog muslim memberi nasehat dengan kata-kata seperti itu. Bagaimana tidak? Nasihat psikolog muslim tersebut nyata-nyata didasarkan pada teori Freud.
Sigmund Freud (1856-1938) adalah psikolog Yahudi yang menyatakan bahwa kepuasaan insting seksual seorang anak pada usia ini diperoleh dengan cara menahan dan mengeluarkan kotoran. Hal itu sedikit banyak membuat anak kerap menggaruk bokongnya berkali-kali sebagai sebuah kenikmatan. Freud memang beranggapan sumber kebahagiaan manusia bukanlah agama, namun seksualitas. Agama justru sebaliknya. Ia adalah ilusi. Ilusi yang sengaja diciptakan manusia dari mimpi-mimpinya. Seperti jika kita berdoa, kita tahu Tuhan tidak terlihat, tapi manusia sengaja “dihadirkan” manusia agar yakin doanya makbul.
Kisah diatas dibacakan oleh DR. Malik Badri pada tahun 1975 dalam rapat tahunan ke-4 Perkumpulan Ilmuwan Sosial Muslim (AMSS) Amerika dan Kanada.DR. Malik Badri sendiri adalah seorang akademisi muslim asal Sudan yang kini mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Kebangsaan Malaysia. Saat itu, secara lantang ia membawakan makalah berjudul “Psikolog Muslim dalam Liang Biawak”. Tulisan itu sendiri mengguncang denyut nadi tiap ilmuwan muslim atas sekularisme yang (secara tidak sadar) melanda mereka.
Kata akademisi yang bulan lalu mengunjungi Indonesia itu, pemakaian kalimat “dalam lubang biawak” sengaja dipakai karena bersumber dari hadis terkenal Nabi Muhammad SAW ketika beliau meramalkan bahwa akan tiba saatnya nanti orang-orang Islam secara membabi buta mengikuti cara hidup orang-orang Yahudi dan Kristen. “Hal ini dengan indahnya diungkapkan dalam pernyataan nabi: bahkan jika mereka masuk dalam lubang biawak sekalipun, orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya,” tulis DR. Malik Badri pada makalah yang kini telah menjadi buku berjudul Dilema Psikolog Muslim.
Rupanya inflitrasi teori dari seorang pengikut mazhab Hasidisme Yahudi bernama Sigmund Freud itu betul-betul menghabisi harga diri perempuan. Tengoklah pengembangan ide yang digariskannya pada teori (maaf) penis envy (kecemburuan penis) miliknya.
Menurut Freud, anak perempuan pada usia tiga tahun memiliki kecemburuan pada anak lelaki. Mereka berkembang menjadi pribadi minder karena merasa iri tidak memiliki penis layaknya anak laki-laki. Mulai detik itu, kata Freud, perempuan mulai membenci dirinya. Ada perasaan tidak adil meliputi hati tiap wanita cilik. Mereka tidak terima nasib ditakdirkan Tuhan berbeda jenis kelamin dengan pria. Selanjutnya, terang psikologi Yahudi itu, jika hal ini tidak teratasi, anak cenderung menjadi pribadi introvert dan rendah diri pada masa dewasanya. Jadi masa lalu sangat mewarnai kehidupan masa depan.
Tidak hanya itu, Freud juga menguliti kepribadian anak-anak wanita dalam titik terendah. Kata Freud, anak wanita berumur tiga tahun memiliki keinginan untuk meniduri ayahnya, ya dalam arti sebenarnya. Kecintaan besarnya terhadap ayah, membuat anak perempuan diwarisi kedengkian terhadap seorang ibu. Inilah yang kemudian menjadi “sabda” dunia psikologi abad 20 atas apa yang disebut dengan Kompleks Oedipus.
Zakaria Ibrahim dalam bukunya Psikologi Wanita membeberkan fakta yang lebih sadis lagi. Ia menemukan bahwa sebagian psikolog mengklaim proses inilah yang menyebabkan kenapa banyak anak perempuan senang menyiram kebun. Sebab dengan memegang selang air atau gagang penyiram, anak perempuan merasakan seolah-seolah sedang memegang penis dan kencing dengan jarak yang jauh. Pernahkah kita mendengar kisah Havlock Ellis tentang seorang pasien wanita yang tersentak begitu mendengar suara pancuran air mancur? Ya kira-kira seperti itu ide sinting Freud.
Rupanya ide Freud tidak semanis seperti yang ia bayangkan. Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times mengatakan bahwa gambaran Freud tentang diri manusia merupakan model paling dekat yang dapat diraih peradaban Barat. Di Seville, Spanyol pada tahun 1986 sekelompok ilmuwan bertemu, termasuk ahli-ahli psikologi, ilmuwan syaraf, ahli genetika, antropolog, dan ilmuwan politik, dan menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah bagi anggapan bahwa manusia seperti yang digambarkan oleh Freud. Freud dinilai mengada-ada dan terlalu memaksakan percepatan kedewasaan psikologis manusia bahwa anak berumur tiga tahun sudah mempunyai birahi tinggi untuk meniduri orangtuanya.
Bahkan Ibrahim al-Jamal, dalam bukunya Penyakit-penyakit hati menemukan temuan yang berbeda dalam oedipus komplek. Menurutnya, suatu kali yang terjadi adalah kebalikan dari skema anak cinta ibu dalam kompleks Oedipus. Selama ini kita kenal bahwa kompleks tak lazim ini berpusat kepada aktivitas erotik sang anak terhadap ibu atau ayahnya. Namun kita tak dapat mengelak ketika yang terjadi adalah tak jarang seorang ibu yang sangat mencintai anaknya, hingga keduanya mengalami problem-problem psikologis.
Inilah gambaran orang yang tidak memiliki iman. Bahwa manusia seperti dikebiri oleh nafsu jasmaninya. Padahal, dalam tiap diri manusia telah tertancap sebuah fitrah. Ia diberi bekal untuk bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Bahkan dengan kesungguhannya ia bisa melawan sifat buruknya.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. 13:28)”
Bisa dikata Geiger adalah orang yang pertama kali mengatakan Al Qur’an dipengaruhi agama Yahudi. Anda tahu apa judul essainya hingga kemudian memenangkan kompetisi masuk Universitas Bonn tahun 1832? Sangat provokatif, yakni “Apa Yang Diambil Muhammad Dari Yahudi”. Essai ini langsung diseleksi Professor Georg B. F. Freytag dari Fakultas Oriental Studies, Universitas Bonn. Hasilnya, Geiger menang dan mendapat hadiah dari hasil tulisannya. Padahal, saat itu usianya baru 22 tahun
Setahun kemudian essai tersebut lantas diterbitkan dengan judul “Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?”. Seperti dikuti dari buku Adnin Armas, Metodeologi Bibel dalam Studi Qur’an, (dalam tulisannya) Geiger menuding kosa kata Ibrani memiliki pengaruh signifikan. Geiger mengutip sebagian kata dalam Al Qur’an yang identik dengan Ibrani seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘And, Jahannam, Ahbar, darasa, Rabani, Sabt, Thaghut, Furqan, Ma’un, Mathani, Malakut. Geiger juga berpendapat Qur’an terpengaruh ketika mengemukakan, (a) hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin (b) peraturan-peraturan hukum dan moral dan (c) pandangan tentang kehidupan. Selain itu, Geiger berpendapat cerita-cerita yang ada di dalam Al Qur’an pun tidak lepas dari agama Yahudi.
Senada dengan Geiger, seorang Yahudi lainnya bernama Joseph Horovitz juga menulis dua buah tulisan untuk menyatakan peran Bahasa Yahudi dibalik redaksi Qur’an, yakni sebuah buku berjudul Das koranische Untersuchungen (1923) dan sebuah artikel bertuliskan Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran (1925).
Pandangan Geiger ini kemudian diikuti oleh banyak sarjana lainnya, seperti Günther Luling dan Christoph Luxemberg. Karya terbaru yang menghimpun beberapa hasil kajian historis-kritis ala Geiger ini adalah buku yang diedit oleh Tilman Nagel, yaitu Der Koran und sein religiöses und kulturelles Umfeld (2010).
Pesan yang ingin Geiger sampaikan adalah bahwa Qur’an bukanlah sebuah kitab yang suci dan menuding bahwa pada dasarnya Nabi Muhammad bukanlah seorang yang ummi. Pandangan ini banyak ditekankan oleh Geiger.
Hartwig Hirschfeld (1854-1934), seorang Yahudi Jerrnan kelahiran Prussia, juga memfokuskan betapa pentingnya melacak kosa kata asing (Fremdworter) Al-Qur’an. Hirschfeld, yang mendapat gelar doktor ketika berusia 24 tahun, menulis disertasi doktoralnya dengan judul Judische Elemente im Koran. Ein Beitrag zur Koranforschung, Berlin 1878 (Elemen-elemen Yahudi dalam Al-Qur’an. Sebuah Sumbangan untuk Penelitian Al-Qur’an). Delapan tahun kemudian, Hirshfeld menulis Beitrage zur Erklarung des Koran, Leipzig 1886 (Sumbangan untuk Tafsir Al-Qur’an). Ia juga menulis New Researches into the Composition and Exegesis of the Qoran, London, 1901 (Penelitian-penelitian Baru dalam Penulisan dan Tafsir Al-Qur’an).
Menurut Hirshfeld, Muhammad bisa membaca dan menulis. Dalam pandangan Hirshfeld, Muhammad mengetahui aksara Ibrani tatkala berkunjung ke Syiria. Selain itu, fakta menunjukkan Muhammad bisa menulis ketika di Medinah. Sulit dipercaya, tegas Hirshfeld, jika Muhammad tidak bisa menulis ketika ia berusia di atas 50 tahun. Selain itu, Hirshfeld berpendapat banyaknya nama-nama dan kata-kata yang diungkapkan di dalam Al-Qur’an menunjukkan Muhammad salah membaca catatan-catatannya yang dibuat dengan tangan yang tidak memiliki skill (The disfigurement of many Biblical narnes and words mentioned in the Qur’an is due to misreadings in his own notes rnade with unskillful hand).
Pernyataan Geiger, Horovitz dan Hirschfeld sudah jauh-jauh hari dipatahkan Al Qur’an itu sendiri. Allah SWT dalam surat Al Fushilat ayat 44 berfirman, “Dan jika Kami jadikan Al Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”. Apakah (patut Al Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab karena ia adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia di atas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.”
Abu Ubayd menjelaskan sekalipun asal muasal kosakata Qur’an bersinggungan dengan bahasa Asing, tidak serta merta bahwa Al Qur’an berasal dari bahasa lain, karena kosakata asing tersebut sudah terarabkan dan memiliki makna tersendiri. Allah, dalam konsep pra-Islam, berbeda dengan Allah dalam konteks agama Islam. “Ini disebabkan Islam membawa makna baru. Islam telah meluruskan, mengIslamkan ajaran yang salah dari jahiliyah, agama Yahudi dan Kristen,” tegas Prof Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya The Educational Philosophy.
Hal senada juga dikatakan oleh Syed Naquib Al Attas. Dalam bukunya, The Concept Education in Islam, pendekar Ilmu dari Melayu ini mengatakan bahwa Islamisasi yang dilakukan Rasulullah SAW dengan tanda turunnya wahyu menjadikan bahasa sebagai media yang sangat penting. Bahwa hal pertama yang dilakukan al-Qur’an adalah merombak struktur semantik konsep-konsep kunci dalam bahasa Arab Pra Islam dan memberinya makna baru seperti kata Allah, Haji, maupun nikah. Itulah yang membedakan Al Qur’an dan kitab suci lainnya.
Karenanya, seperti dikatakan Sayyid Quthb dalam bukunya Indahnya Al Qur’an Berkisah,
menjelaskan mengapa sebagai sebuah kitab suci, al-Qur’an dapat melumpuhkan bangsa Arab. Pakar sastra ini berkesimpulan rupanya al-Qur’an tidak saja kaya dengan susunan redaksinya, tapi juga mengikat beberapa ayat dengan unsur tasyri (penetapan hukum) yang dirasa adil, detail, dan amat tepat digunakan dalam setiap zaman. Yang ini tidak akan mungkin mencoba diselarsakan dalam konteks bahasa Ibrani dengan menjadikan agama Yahudi sebagai induknya. Karenanya, tuduhan dari Geiger, Horovitz dan Hirshfeld bahwa Al Qur’an menjiplak kata-kata dalam Yahudi menjadi gugur dengan sendirinya.
SEORANG psikolog terlihat resah. Ia diberitahu ada psikolog muslim yang baru saja berhasil menasehati orangtua seorang anak. Pasalnya mungkin tidak sepele, psikolog muslim itu menerima aduan “unik” dari orang tua yang memiliki anak berusia tiga tahun.
Rupanya anak ini memiliki kebiasaan tidak lazim. Ia sering terlihat tidak bisa tenang, mudah meledak dan, juga menyimpan kebiasaan aneh: kerap menggaruk-garuk (maaf) anusnya. Lalu sebagai seorang psikolog muslim, pada orangtua si anak, ia mengatakan bahwa tingkah laku sang anak adalah normal. Dengan ilmu psikologinya, ia menganalisa bahwa perangai itu disebabkan karena anak sedang menjalani tahap perkembangan seksual yang normal pada masa anal. “Itu biasa, bu. Tidak usah khawatir,” begitu kira-kira pesan si psikolog muslim kepada sang ibu.
Mendengar cerita ini, si psikolog tadi tercengang. Ia kaget mendapati seorang seorang psikolog muslim memberi nasehat dengan kata-kata seperti itu. Bagaimana tidak? Nasihat psikolog muslim tersebut nyata-nyata didasarkan pada teori Freud.
Sigmund Freud (1856-1938) adalah psikolog Yahudi yang menyatakan bahwa kepuasaan insting seksual seorang anak pada usia ini diperoleh dengan cara menahan dan mengeluarkan kotoran. Hal itu sedikit banyak membuat anak kerap menggaruk bokongnya berkali-kali sebagai sebuah kenikmatan. Freud memang beranggapan sumber kebahagiaan manusia bukanlah agama, namun seksualitas. Agama justru sebaliknya. Ia adalah ilusi. Ilusi yang sengaja diciptakan manusia dari mimpi-mimpinya. Seperti jika kita berdoa, kita tahu Tuhan tidak terlihat, tapi manusia sengaja “dihadirkan” manusia agar yakin doanya makbul.
Kisah diatas dibacakan oleh DR. Malik Badri pada tahun 1975 dalam rapat tahunan ke-4 Perkumpulan Ilmuwan Sosial Muslim (AMSS) Amerika dan Kanada.DR. Malik Badri sendiri adalah seorang akademisi muslim asal Sudan yang kini mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Kebangsaan Malaysia. Saat itu, secara lantang ia membawakan makalah berjudul “Psikolog Muslim dalam Liang Biawak”. Tulisan itu sendiri mengguncang denyut nadi tiap ilmuwan muslim atas sekularisme yang (secara tidak sadar) melanda mereka.
Kata akademisi yang bulan lalu mengunjungi Indonesia itu, pemakaian kalimat “dalam lubang biawak” sengaja dipakai karena bersumber dari hadis terkenal Nabi Muhammad SAW ketika beliau meramalkan bahwa akan tiba saatnya nanti orang-orang Islam secara membabi buta mengikuti cara hidup orang-orang Yahudi dan Kristen. “Hal ini dengan indahnya diungkapkan dalam pernyataan nabi: bahkan jika mereka masuk dalam lubang biawak sekalipun, orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya,” tulis DR. Malik Badri pada makalah yang kini telah menjadi buku berjudul Dilema Psikolog Muslim.
Rupanya inflitrasi teori dari seorang pengikut mazhab Hasidisme Yahudi bernama Sigmund Freud itu betul-betul menghabisi harga diri perempuan. Tengoklah pengembangan ide yang digariskannya pada teori (maaf) penis envy (kecemburuan penis) miliknya.
Menurut Freud, anak perempuan pada usia tiga tahun memiliki kecemburuan pada anak lelaki. Mereka berkembang menjadi pribadi minder karena merasa iri tidak memiliki penis layaknya anak laki-laki. Mulai detik itu, kata Freud, perempuan mulai membenci dirinya. Ada perasaan tidak adil meliputi hati tiap wanita cilik. Mereka tidak terima nasib ditakdirkan Tuhan berbeda jenis kelamin dengan pria. Selanjutnya, terang psikologi Yahudi itu, jika hal ini tidak teratasi, anak cenderung menjadi pribadi introvert dan rendah diri pada masa dewasanya. Jadi masa lalu sangat mewarnai kehidupan masa depan.
Tidak hanya itu, Freud juga menguliti kepribadian anak-anak wanita dalam titik terendah. Kata Freud, anak wanita berumur tiga tahun memiliki keinginan untuk meniduri ayahnya, ya dalam arti sebenarnya. Kecintaan besarnya terhadap ayah, membuat anak perempuan diwarisi kedengkian terhadap seorang ibu. Inilah yang kemudian menjadi “sabda” dunia psikologi abad 20 atas apa yang disebut dengan Kompleks Oedipus.
Zakaria Ibrahim dalam bukunya Psikologi Wanita membeberkan fakta yang lebih sadis lagi. Ia menemukan bahwa sebagian psikolog mengklaim proses inilah yang menyebabkan kenapa banyak anak perempuan senang menyiram kebun. Sebab dengan memegang selang air atau gagang penyiram, anak perempuan merasakan seolah-seolah sedang memegang penis dan kencing dengan jarak yang jauh. Pernahkah kita mendengar kisah Havlock Ellis tentang seorang pasien wanita yang tersentak begitu mendengar suara pancuran air mancur? Ya kira-kira seperti itu ide sinting Freud.
Rupanya ide Freud tidak semanis seperti yang ia bayangkan. Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times mengatakan bahwa gambaran Freud tentang diri manusia merupakan model paling dekat yang dapat diraih peradaban Barat. Di Seville, Spanyol pada tahun 1986 sekelompok ilmuwan bertemu, termasuk ahli-ahli psikologi, ilmuwan syaraf, ahli genetika, antropolog, dan ilmuwan politik, dan menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah bagi anggapan bahwa manusia seperti yang digambarkan oleh Freud. Freud dinilai mengada-ada dan terlalu memaksakan percepatan kedewasaan psikologis manusia bahwa anak berumur tiga tahun sudah mempunyai birahi tinggi untuk meniduri orangtuanya.
Bahkan Ibrahim al-Jamal, dalam bukunya Penyakit-penyakit hati menemukan temuan yang berbeda dalam oedipus komplek. Menurutnya, suatu kali yang terjadi adalah kebalikan dari skema anak cinta ibu dalam kompleks Oedipus. Selama ini kita kenal bahwa kompleks tak lazim ini berpusat kepada aktivitas erotik sang anak terhadap ibu atau ayahnya. Namun kita tak dapat mengelak ketika yang terjadi adalah tak jarang seorang ibu yang sangat mencintai anaknya, hingga keduanya mengalami problem-problem psikologis.
Inilah gambaran orang yang tidak memiliki iman. Bahwa manusia seperti dikebiri oleh nafsu jasmaninya. Padahal, dalam tiap diri manusia telah tertancap sebuah fitrah. Ia diberi bekal untuk bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Bahkan dengan kesungguhannya ia bisa melawan sifat buruknya.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. 13:28)”
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar