Pencapaian budaya
Di bawah kekuasaan Suleiman, Kesultanan Utsmaniyah memasuki masa keemasan dalam hal perkembangan budaya. Utsmaniyah memiliki ratusan kelompok artistik Kesultanan (disebut sebagai Ehl-i Hiref, "komunitas bagi mereka yang berbakat") yang dikelola langsung oleh istana. Proses magang wajib dijalani bagi mereka yang ingin menjadi seniman dan pengrajin. Setelah magang mereka bisa mendapatkan gaji dan jabatan yang lebih tinggi. Dokumen-dokumen penggajian yang ditemukan menunjukkan betapa Suleiman sangat menghargai dan mendukung pekerjaan seniman. Sebuah dokumen yang dibuat tahun 1526 menunjukkan daftar 40 kelompok seniman dengan lebih dari 600 anggota. Ehl-i Hiref mampu menarik sebagian besar seniman berbakat, baik dari dunia Islam maupun dari wilayah jajahan di Eropa, untuk bekerja di istana sultan. Hal ini memungkinkan terjadinya pencampuran kebudayaan Islam, Turki, dan Eropa.[43] Seniman yang bekerja di istana antara lain pelukis, penjilid buku, penjahit pakaian dari bulu, pengrajin perhiasan, dan penempa emas. Bila penguasa sebelumnya lebih terpengaruh oleh kebudayaan Persia (ayah Suleiman, sebagai contoh, senang menulis puisi dalam bahasa Persia), Suleiman berhasil menciptakan gaya seni berbeda yang menjadi warisan artistik yang khas.[44]Suleiman sendiri adalah seorang penyair yang handal, karyanya ditulis dalam bahasa Persia dan Turki dengan nama samaran Muhibbi (Pecinta). Beberapa kalimat dalam puisi Suleiman dijadikan peribahasa Turki, salah satunya yang terkenal adalah: "Semua orang ingin menyampaikan maksud yang sama, tetapi ada banyak versi ceritanya." Ketika anak Suleiman, Mehmed, meninggal pada tahun 1543, ia membuat sebuah kronogram untuk memperingati kematiannya: Pangeran yang tiada taranya, Sultan Mehmed-ku[45][46] Selain Suleiman, banyak seniman lain yang juga memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan sastra Utsmaniyah, termasuk di antaranya Fuzuli dan Baki. Sejarawan Sastra E. J. W. Gibb mengamati bahwa "tidak pernah ada dalam sejarah dunia dorongan yang sedemikian besar terhadap perkembangan puisi kecuali pada masa kekuasaan Sultan yang satu ini."[45]
Tughra Suleiman Agung.
Gerabah iznik berkembang pada masa kekuasaan Suleiman. Piring buatan tahun 1530-1540.
Suleiman juga terkenal karena membiayai beberapa arsitektur monumental di kesultanannya. Sang Sultan bercita-cita menjadikan Konstatinopel sebagai pusat peradaban Islam melalui pembangunan berbagai objek termasuk jembatan, masjid, istana, dan lainnya. Beberapa yang paling termahsyur dibuat oleh arsitek kepala Utsmaniyah, Mimar Sinan. Sinan bertanggung jawab membangun tiga ratus monumen di seluruh penjuru kesultanan, termasuk dua mahakarya masjid Süleymaniye dan Selimiye—yang disebutkan terakhir dibangun di Edirne pada masa kekuasaan anak Suleiman, Selim II. Suleiman juga melakukan restorasi terhadap Kubah Shakhrah dan tembok kota di Yerusalem (yang kini menjadi tembok Kota Tua Yerusalem), merenovasi Ka'bah di Mekah, dan membuat sebuah kompleks di Damaskus.[47]
Kehidupan pribadi
Hürrem Sultan
Hürrem Sultan (Roxelana)
Suleiman jatuh hati pada Hürrem Sultan, putri harem yang berasal dari Rutenia. Kalangan diplomat barat menjuluki sang putri sebagai "Russelazie" atau "Roxelana", mengacu pada asal usul Slavianya.[48] Hürrem Sultan adalah putri dari pendeta Ortodoks Ukraina.[26] Ia diperbudak dan bangkit hingga mencapai posisi Harem untuk menjadi kesukaan Suleiman. Meskipun merupakan pelanggaran tradisi Utsmaniyah selama dua abad, sang mantan selir menjadi istri resmi sultan, dan membuat banyak pengamat di istana dan kota tercengang.[49] Hürrem Sultan diperbolehkan tinggal dengan Suleiman di istana selama sisa hidupnya.[50] Tindakan ini lagi-lagi melanggar tradisi, bahwa ketika ahli waris mencapai usianya, sang ahli waris akan dikirim bersama dengan selir yang melahirkannya ke provinsi terpencil untuk memerintah, dan tidak akan pernah kembali kecuali keturunan mereka menjadi penerus takhta.[50]
Ibrahim Pasha
Pargalı İbrahim Pasha adalah teman masa kecil Suleiman. Ibrahim awalnya memeluk agama Ortodoks Yunani, dan ketika muda disekolahkan di sekolah istana di bawah sistem devshirme. Suleiman menjadikannya falconer kerajaan, lalu mengangkatnya menjadi perwira pertama ruang tidur kerajaan.[51] Ibrahim Pasha diangkat menjadi Wazir Agung pada tahun 1523 dan kepala komando semua angkatan bersenjata. Suleiman juga menganugerahkan kehormatan beylerbey Rumelia kepada Ibrahim Pasha, yang memberinya kekuasaan terhadap seluruh wilayah Turki di Eropa, dan juga komando tentara di tempat tersebut pada masa perang. Menurut penulis kronik abad ke-17, Ibrahim telah meminta Suleiman untuk tidak mengangkatnya ke posisi tinggi itu, karena takut akan keselamatannya. Suleiman menjawab bahwa di bawah kekuasaannya apapun keadaannya, Ibrahim tidak akan pernah dihukum mati.[52]Akan tetapi hubungan Ibrahim dengan sultan memburuk. Pada tahun ke-13 ia menjabat sebagai Wazir Agung, peningkatan kekuasaan dan kekayaannya membuat Ibrahim menjadi musuh bagi banyak orang di istana sultan. Laporan mengenai kelancangan Ibrahim mencapai telinga sultan pada masa peperangan melawan Safawiyah: terutama penetapan gelar sultan serasker oleh Ibrahim dianggap sebagai penghinaan oleh Suleiman.[53]
Kecurigaan Suleiman terhadap Ibrahim semakin menguat akibat pertentangan dengan Menteri Keuangan Iskender Chelebi. Perselisihan berakhir dengan memalukan bagi Chelebi (atas tuduhan intrik), dan Ibrahim meyakinkan Suleiman untuk mengeksekusinya. Sebelum kematiannya, kata terakhir Chelebi menuduh Ibrahim melakukan konspirasi terhadap sultan.[53] Pesan kematian itu membuat Suleiman yakin akan ketidaksetiaan Ibrahim,[53] dan pada 15 Maret 1536 mayat Ibrahim ditemukan di Istana Topkapi.
Penerus
Suleiman memiliki delapan anak dari dua istri, empat di antaranya hidup hingga lebih dari tahun 1550-an. Mereka adalah Mustafa, Selim, Bayezid, dan Jihangir. Dari keempatnya, hanya Mustafa yang bukan anak dari Hürrem Sultan, melainkan anak dari Mahidevran Gülbahar Sultan dan karenanya ia berada di urutan pertama dari empat anak yang akan menggantikan Sultan. Hürrem khawatir bila Mustafa yang menjadi Sultan, anak-anaknya akan terkucil. Mustafa diakui memiliki talenta lebih besar dibanding anak Sultan lainnya, dan juga mendapat dukungan Pargalı İbrahim Pasha, yang ketika itu masih menjadi Wazir Agung. Duta besar Austria Busbecq mencatat "Di antara anak-anak Suleiman ada yang bernama Mustafa, yang sangat terdidik dan bijaksana serta dalam usia yang matang, 24 atau 25 tahun; semoga Tuhan tidak membiarkan barbar sepertinya datang mendekati kita", dan juga menyebut "bakat alami yang luar biasa" yang dimiliki Mustafa.[54]
Potret Suleiman oleh Nigari, menjelang akhir kekuasaannya pada tahun 1560.
Dalam pergantian kekuasaannya, timbul intrik-intrik yang kemungkinan didalangi oleh Hürrem. Meskipun ia adalah seorang istri Sultan, Hürrem tidak memiliki peran resmi apa pun dalam pemerintahan, namun demikian ia tetap memiliki pengaruh politik. Karena kesultanan tidak memiliki aturan formal, pergantian kekuasaan biasanya diwarnai oleh pembunuhan di antara pangeran-pangeran yang bersaing memperebutkan takhta untuk menghindari terjadinya perang saudara atau pemberontakan. Agar anak-anaknya terhindar dari hukuman mati atau pembunuhan, Hürrem menggunakan pengaruhnya untuk menyingkirkan mereka yang mendukung Mustafa.[55]
Hürrem diduga mendalangi dan mendorong Suleiman untuk membunuh Ibrahim dan menggantinya dengan menantu Hürrem, Rustem Pasha. Pada tahun 1552, ketika kampanye melawan Persia dimulai dan Rustem ditunjuk sebagai komandan ekspedisi, intrik melawan Mustafa dimulai. Rustem mengirimkan salah satu orang kepercayaan Suleiman untuk melaporkan bahwa karena Suleiman tidak lagi memimpin, pasukan berpikir bahwa inilah saatnya seorang pangeran yang lebih muda untuk menggantikannya; pada saat yang sama Rustem menyebar isu bahwa Mustafa mendukung ide itu. Suleiman marah dan menuduh Mustafa hendak merebut kekuasaan.
Ketika Mustafa kembali dari kampanye di Persia, Suleiman memanggil Mustafa untuk datang ke tendanya di Lembah Ereğli[56], dan menyebutkan bahwa "Mustafa dapat datang dan menjelaskan semua permasalahan yang dituduhkan kepadanya; tidak ada yang perlu ditakutan".[57] Mustafa hanya memiliki dua pilihan: ia datang kepada ayahnya dengan risiko dibunuh; atau, bila ia menolak datang, ia akan dituduh berkhianat. Mustafa akhirnya memilih untuk menghadap ayahnya dengan keyakinan bahwa pasukannya akan melindungi dia. Busbecq, yang mengklaim mendapatkan keterangan dari beberapa saksi, menggambarkan momen terakhir Mustafa. Ketika Mustafa memasuki tenda ayahnya, salah seorang kasim Suleiman menyerangnya. Mustafa mencoba bertahan namun kewalahan dengan banyaknya penyerang dan akhirnya tewas dicekik menggunakan tali.[58]
Jihangir meninggal beberapa bulan kemudian, konon disebabkan karena kesedihan yang mendalam akibat kakak tirinya, Mustafa, tewas.[59] Dua saudara yang tersisa, Bayezid dan Selim, diberikan wilayah kekuasaan masing-masing. Namun demikian, dalam beberapa tahun, perang saudara pecah, keduanya didukung oleh pasukan-pasukannya masing-masing.[60] Dengan bantuan dari pasukan ayahnya, Selim mengalahkan Beyezid di Konya pada tahun 1559, menyebabkan Beyezid lari ke Persia bersama empat anaknya. Dalam sebuah perjanjian, Suleiman meminta kepada Shah Persia untuk mengekstradisi atau mengekeskusi Beyezid dengan imbalan sejumlah besar emas. Shah akhirnya mengizinkan algojo dari Turki untuk mengeksekusi Beyezid dan keempat anaknya pada tahun 1561,[59] memuluskan jalan Selim ke tampuk kekuasaan. Pada tanggal 5 atau 6 September 1566,[61] Suleiman, yang ketika itu hendak memimpin pasukan dalam ekspedisi ke Hongaria, meninggal dunia.[62] Selim pun menggantikan ayahnya memimpin Kesultanan.
Peninggalan
Penaklukan yang dilancarkan Suleiman I, diikuti dengan perluasan wilayah yang berlanjut hingga puncaknya pada tahun 1683.
Saat Suleiman wafat, Kesultanan Utsmaniyah telah menjadi salah satu kekuatan yang disegani di dunia.[63] Penaklukan yang dilakukan Suleiman menyebabkan kesultanan menguasai kota-kota besar Islam seperti Mekah, Madinah, Yerusalem, Damaskus, dan Baghdad; sebagian besar provinsi di Balkan (hingga mencapai wilayah Kroasia dan Austria saat ini); serta sebagian besar Afrika Utara. Tak pelak, Kesultanan Utsmaniyah dipandang sebagai ancaman bagi negara-negara Eropa, Busbecq menuliskan: "Di sisi bangsa Turki ada seseorang yang menjadi sumber kejayaan kekaisaran, dengan kekuatan tak terkalahkan, kemenangan yang terus berulang, tekun dalam bekerja keras, memiliki semangat kesatuan, disiplin, kecermatan, dan ketelitian... Bisakah kita meragukan hasilnya?...Ketika Turki selesai berurusan dengan Persia, mereka akan terbang ke tenggorokan kita dengan dukungan seluruh dunia Timur; dan lihatlah betapa tidak siapnya kita."[64]
Warisan Suleiman tidak terbatas pada bidang militer. Pengelana Perancis Jean de Thévenot satu abad kemudian menyaksikan "basis pertanian yang kuat, kesejahteraan menjadi petani, melimpahnya makanan pokok, dan keunggulan organisasi pada pemerintahan Suleiman".[65] Reformasi administratif dan undang-undang yang memberinya gelar pemberi hukum memastikan keselamatan Utsmaniyah berabad-abad setelah kematiannya.[66]
Melalui perlindungan personalnya, Suleiman juga membawa masa keemasan bagi Utsmaniyah, terutama dalam bidang arsitektur, sastra, seni, teologi, dan filsafat.[4][67] Kini pemandangan Bosporus dan kota-kota lain di Turki modern dan bekas provinsi Utsmaniyah masih dihiasi oleh karya arsitek Mimar Sinan. Masjid Süleymaniye, tempat bersemayamnya Suleiman dan Herenzaltan, merupakan salah satunya.
Türbe (makam) Sultan Süleyman di Masjid Süleymaniye.
Sebuah masjid juga didirikan di Mariupol, Ukraina dan dinamai dari Suleiman. Masjid ini didirikan oleh pebisnis Turki Salih Cihan, yang juga lahir di Trabzon, dan dibuka pada tahun 2005.
Peti mati dan mausoleum Suleiman yang terletak di Masjid Süleymaniye.
Referensi
- ^ The Encyclopædia Britannica, Vol.7, Edited by Hugh Chisholm, (1911), 3; Constantinople, the capital of the Turkish Empire...
- ^ Britannica, Istanbul:When the Republic of Turkey was founded in 1923, the capital was moved to Ankara, and Constantinople was officially renamed Istanbul in 1930.
- ^ Mansel, 61.
- ^ a b Atıl, 24.
- ^ Clot, 25.
- ^ Barber, Noel (1973). The Sultans. New York: Simon & Schuster. hlm. 36.
- ^ Clot, 28.
- ^ Kinross, 175.
- ^ Lamb, 14.
- ^ Barber, 23.
- ^ Imber, 49.
- ^ Clot, 39.
- ^ Kinross, 176.
- ^ Severy, 580
- ^ Embree, Suleiman The Magnificent.
- ^ Kinross, 187.
- ^ Turnbull, Stephen (2003). The Ottoman Empire 1326 – 1699. New York: Osprey Publishing. hlm. 50.
- ^ Labib, 444.
- ^ Imber, 52.
- ^ Imber, 53.
- ^ Imber, 54.
- ^ a b Imber, 51.
- ^ a b Sicker, 206.
- ^ Clot, 93.
- ^ 1548–49
- ^ a b Kinross, 236.
- ^ 1553–55
- ^ a b c The history of Aden, 1839-72 by Zaka Hanna Kour hal.2
- ^ An economic and social history of the Ottoman Empire by Halil İnalcik hal.326 [1]
- ^ History of the Ottoman Empire and modern Turkey by Ezel Kural Shaw p.107 [2]
- ^ Cambridge illustrated atlas, warfare: Renaissance to revolution, 1492-1792 by Jeremy Black p.17 [3]
- ^ Clot, 87.
- ^ Kinross, 227.
- ^ Kinross, 53.
- ^ The History of Malta
- ^ Kinross, 205.
- ^ Imber, 244.
- ^ Greenblatt, 20.
- ^ Greenblatt, 21.
- ^ Kinross, 210.
- ^ Mansel, 124.
- ^ a b Kinross, 211.
- ^ Atıl, The Golden Age of Ottoman Art, 24–33.
- ^ Mansel, 70.
- ^ a b Halman, Suleyman the Magnificent Poet
- ^ Muhibbî (Kanunî Sultan Süleyman)(Turki) Dalam bahasa Turki, kronogram itu ditulis شهزادهلر گزيدهسی سلطان محمدم(Şehzadeler güzidesi Sultan Muhammed’üm), yang menunjukkan angka 995 dalam kalender Islam atau sekitar tahun 1543 Masehi.
- ^ Atıl, 26.
- ^ Ahmed, 43.
- ^ Mansel, 86.
- ^ a b Imber, 90.
- ^ Mansel, 87.
- ^ Clot, 49.
- ^ a b c Kinross, 230.
- ^ Clot, 155.
- ^ Mansel, 84.
- ^ Ünal, Tahsin (1961). "The Execution of Prince Mustafa in Eregli". (28). Anıt. hlm. 9–22.
- ^ Clot, 157.
- ^ Kinross, 239.
- ^ a b Mansel, 89.
- ^ Kinross, 240.
- ^ Yapp, Suleiman I
- ^ Imber, 60.
- ^ Clot, 298.
- ^ Lewis, 10.
- ^ Ahmed, 147.
- ^ Lamb, 325.
- ^ Russell, The Age of Sultan Suleyman
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar