Keturunan di Tarub
Dikisahkan secara vulgar, suatu ketika Prabhu Brawijaya terserang
penyakit Rajasinga atau syphilis. Para Tabib Istana sudah bekerja keras
berusaha menyembuhkan beliau, tapi penyakit beliau tetap membandel. Atas
inisiatif beliau sendiri, setiap malam beliau tidur diarel Pura
Keraton. Memohon kepada Mahadewa agar diberi kesembuhan. Dan konon,
setelah beberapa malam beliau memohon, suatu malam, beliau mendapat
petunjuk sangat jelas. Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau
‘mendengar’ suara.
“Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah
Wandhan. Dan, inilah kali terakhir engkau boleh menikah lagi.” Mendapat
‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya termangu-mangu.
Dan beliau teringat, di Istana ada beberapa pelayan Istana yang berasal
dari daerah Wandhan (Bandha Niera, didaerah Sulawesi ).
Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana dari daerah
Wandhan. Beliau memilih yang paling cantik. Ada seorang pelayan dari
Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat cantik. Diambillah dia
sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara dikenal dengan
nama Dewi Wandhan Kuning. Begitu menikahi Dewi Wandhan Kuning, dan
setelah melakukan senggama beberapa kali, penyakit Sang Prabhu
berangsur-angsur sembuh.
Namun Sang Prabhu merasa perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning
harus dirahasiakan. Karena apabila kabar ini terdengar sampai ke daerah
Wandhan, pasti para bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab Sang
Prabhu bukannya mengambil salah seorang putri bangsawan Wandhan, tapi
malah mengambil seorang pelayan.
Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya melahirkan seorang
anak laki-laki, putra ini lantas dititipkan kepada Kepala Urusan Sawah
Istana, Ki Juru Tani. (Waktu itu, Istana memiliki areal pesawahan
khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh kerabat Istana.) Anak
ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen (Bondhan perubahan dari kata
Wandhan. Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa.)
Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala
sudah berangsur dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen
dikirimkan kepada Ki Ageng Tarub, seorang Pandhita Shiva yang memiliki
Ashrama di daerah Tarub (sekitar Purwodadi, Jawa Tengah sekarang.)
Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan,
maka inilah dia. Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi
Nawangwulan dan lantas ditinggal oleh sang bidadari setelah sekian lama
menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang menyembunyikan selendang
itu adalah Jaka Tarub sendiri. (Saya tidak akan membedah simbolisasi
legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya bahas :
Damar Shashangka).
Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub.
Menginjak dewasa, Raden Bondhan Kejawen dinikahkan dengan Dewi
Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub. Dan kelak Raden Bondhan Kejawen
bergelar Ki Ageng Tarub II. Dari hasil perkawinan Raden Bondhan Kejawen
dengan Dewi Nawangsih, lahirlah Raden Getas Pandhawa. Dari Raden Getas
Pandhawa, lahirlah Ki Ageng Sela yang hidup sejaman dengan Sultan
Trenggana, Sultan Demak ketiga. Ki Ageng Sela inilah tokoh yang konon
bisa memegang petir sehingga menggegerkan seluruh Kesultanan Demak (
simbolisasi lagi, kapan-kapan saya ulas : Damar Shashangka).
Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal di tengah masyarakat
Jawa. Ki Ageng Sela inilah keturunan Tarub yang mulai beralih memeluk
Islam. Beliau berguru kepada Sunan Kalijaga. Perpindahan agama ini
berjalan dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki Ageng Abdul Rahman.
Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela. Dari Ki Ageng
Mangenis Sela, lahirlah Ki Ageng Pamanahan. Dan dari Ki Ageng Pamanahan
lahirlah Panembahan Senopati Ing Ngalaga, tokoh terkenal pendiri dinasti
Mataram Islam dikemudian hari. (Panembahan Senopati Ing Ngalaga
Mataram inilah leluhur Para Sultan Kasultanan Jogjakarta, Para Sunan
Kasunanan Surakarta (Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran sekarang.)
Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan Kejawen, berlangsung dengan damai.
Raden Patah
Ingat putri China Tan Eng Kian yang dinikahi Adipati Arya Damar di
Palembang? Dari hasil pernikahan dengan Prabhu Brawijaya, Tan Eng Kian
memiliki seorang putra bernama Tan Eng Hwat. Dikenal juga dengan nama
muslim Raden Hassan. Dari perkawinan Tan Eng Kian dengan Arya Damar
sendiri, lahirlah seorang putra bernama Kin Shan, dikenal dengan nama
muslim Raden Hussein.
Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden Hussein dididik secara Islam oleh
ayahnya Arya Damar. Menjelang dewasa, Raden Hassan memohon ijin kepada
ibunya untuk pergi ke Jawa. Dia berkeinginan untuk bertemu dengan ayah
kandungnya, Prabhu Brawijaya. Tan Eng Kian tidak bisa menghalangi
keinginan putranya. Dari Palembang, Raden Hassan bertolak ke Jawa.
Sampailah ia di pelabuhan Gresik yang ramai. Melihat keadaan Gresik yang
hiruk-pikuk, Raden Hassan kagum. Dia bisa membayangkan bagaimana
besarnya kekuasaan Majapahit. Menilik di Gresik banyak orang muslim,
Raden Hassan tertarik.
Dan dengar-dengar, ada Pesantren besar disana. Pesantren Giri. Raden
Hassan memutuskan untuk bertandang ke Giri. Bertemulah dia dengan Sunan
Giri. Sunan Giri senang melihat kedatangan Raden Hassan setelah
mengetahui dia adalah putra Prabhu Brawijaya yang lahir di Palembang.
Sunan Giri seketika melihat sebuah peluang besar.
Di Giri, Raden Hassan memperdalam ke-Islaman-nya. Disana, Raden
Hassan mulai tertarik dengan ide-ide ke-Khalifah-an Islam. Dan militansi
Raden Hassan mulai terbentuk.Ada kesepakatan pemahaman antara Raden
Hassan dengan Sunan Giri. Dari Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh ide
untuk meminta daerah otonomi khusus kepada ayahnya, Prabhu Brawijaya.
Bila disetujui, hendaknya Raden Patah memilih daerah di pesisir Jawa
bagian tengah. Jika itu terwujud, keberadaan daerah otonomi didaerah
pesisir utara Jawa bagian tengah, akan menjadi penghubung pergerakan
militant Islam dari Jawa Timur dan Jawa Barat di Cirebon.
Cirebon, kini tumbuh pesat sebagai pusat kegiatan Islam dibawah
pimpinan Pangeran Cakrabhuwana, putra kandung Prabhu Siliwangi, Raja
Pajajaran. (Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah belum datang dari
Mesir ke Cirebon. Dia datang pada tahun 1475 Masehi. Pada bagian
selanjutnya akan saya ceritakan : Damar Shashangka.)
Setelah dirasa cukup, Raden Hassan melanjutkan perjalanan ke
Pesantren Ampel dengan diiringi beberapa santri Sunan Giri. Disana dia
disambut suka cita oleh Sunan Ampel. Disana, dia diberi nama baru oleh
Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah yang lantas dikenal masyarakat
Jawa dengan nama Raden Patah.
Selesai bertandang di Ampel, Raden Hassan yang kini dikenal dengan
nama Raden Patah melanjutkan perjalanan ke ibu kota Negara Majapahit.
Dia yang semula hanya berniat untuk bertemu dengan ayahnya, sekarang dia
telah membawa misi tertentu.
Betapa suka cita Prabhu Brawijaya mendapati putra kandungnya telah
tumbuh dewasa. Dan manakala, Raden Patah memohon anugerah untuk
diberikan daerah otonom, Prabhu Brawijaya mengabulkannya. Raden Patah
meminta daerah pesisir utara Jawa bagian tengah. Dia memilih daerah yang
dikenal dengan nama Glagah Wangi.
Prabhu Brawijaya menyetujui permintaan Raden Patah. Dia mendanai
segala keperluan untuk membangun daerah baru. Raden Patah, dengan
disokong tenaga dan dana dari Majapahit, berangkat ke Jawa Tengah. Di
daerah pesisir utara, didaerah yang dipenuhi tumbuhan pohon Glagah, dia
membentuk pusat pemerintahan Kadipaten baru. Begitu pusat Kadipaten
dibentuk, dinamailah tempat itu Demak Bintara. Dan Raden Patah,
dikukuhkan oleh Sang Prabhu Brawijaya sebagai penguasa wilayah otonom
Islam baru disana.
Demak Bintara berkembang pesat. Selain menjadi pusat kegiatan
politik, Demak Bintara juga menjadi pusat kegiatan keagamaan. Demak
Bintara menjadi jembatan penghubung antara barat dan timur pesisir utara
Jawa.
Dipesisir utara Jawa, gerakan-gerakan militant Islam mulai menguat.
Sayang, fenomena itu tetap dipandang sepele oleh Prabhu Brawijaya.
Beliau tetap yakin, dominasi Majapahit masih mampu mengontrol semuanya.
Padahal para pejabat daerah yang dekat dengan pesisir utara sudah
melaporkan adanya kegiatan-kegiatan yang mencurigakan. Pasukan Telik
Sandhibaya telah memberikan laporan serius tentang adanya kegiatan yang
patut dicurigai akan mengancam kedaulatan Majapahit.
Tak lama berselang, Raden Hussein, putra Tan Eng Kian dengan Arya
Damar, menyusul ke Majapahit. Dia mengabdikan diri sebagai tentara di
Majapahit. Raden Hussein tidak terpengaruh ide-ide pendirian
ke-Khalifah-an Islam. Dia diangkat sebagai Adipati didaerah Terung (Sidoarjo, sekarang) dengan gelar, Adipati Pecattandha.
Kebaikan Prabhu Brawijaya sangat besar sebenarnya. Tapi kebaikan yang
tidak disertai kebijaksanaan bukanlah kebaikan. Dan hal ini pasti akan
menuai masalah dikemudian hari. Bibit-bibit itu mulai muncul, tinggal
menunggu waktu untuk pecah kepermukaan. Dan Prabhu Brawijaya tidak akan
pernah menyangkanya.
Mendekati detik-detik pemberontakan
Demak Bintara berkembang pesat. Tempat ini dirasa strategis untuk
pengembangan militansi Islam karena letaknya agak jauh dari pusat
kekuasaan. Di Demak Bintara, para ulama-ulama Putihan sering mengadakan
pertemuan. Jadilah Demak Bintara dikenal sebagai Kota Seribu Wali.
Ditambah pada tahun 1475 Masehi, seorang ulama berdarah Mesir-Sunda
datang dari Mesir. Dia adalah Syarif Hidayatullah. Dia datang bersama
ibunya Syarifah Muda’im. Syarifah Muda’im adalah putri Pajajaran. Putri
dari Prabhu Silihwangi penguasa Kerajaan Pejajaran. (Hanya Kerajaan ini
yang tidak masuk wilayah Majapahit. Walau kecil, Pajajaran terkenal
kuat. Anda bisa membayangkan adanya Timor Leste sekarang. Seperti itulah
keadaan Majapahit dan Pajajaran. : Damar Shashangka).
Nama asli Syarifah Muda’im adalah Dewi Rara Santang. Dia bersama
kakaknya Pangeran Walangsungsang, tertarik mempelajari Islam. Ketika
berada di Makkah, Dewi Rara Santang dipinang oleh bangsawan Mesir,
Syarif Abdullah. Menikahlah Dewi Rara Santang dengan bangsawan ini. Dan
namanya berganti Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini, lahirlah Syarif
Hidayatullah.
Pangeran Walang Sungsang, mendirikan daerah hunian baru di pesisir
utara Jawa barat. Dikenal kemudian dengan nama Tegal Alang-Alang. Lantas
berubah menjadi Caruban. Berubah lagi menjadi Caruban Larang. Pada
akhirnya, dikenal dengan nama Cirebon sampai sekarang.
Pangeran Walang Sungsang, dikenal kemudian dengan nama Pangeran
Cakrabhuwana. Oleh ayahandanya, Prabhu Silihwangi diberikan gelar
kehormatan Shri Manggana. Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran
Cakrabhuwana lantas dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.
Awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Sunan Giri terpilih sebagai
penggantinya. Pusat Majelis Ulama Jawa kini berpindah ke Giri Kedhaton.
Dan, pada waktu inilah tragedi Syeh Siti Jenar terjadi. Syeh Siti Jenar
dipanggil ke Giri Kedhaton dan disidang oleh Dewan Wali Sangha dibawah
pimpinan Sunan Giri. Walau tidak mengakui keberadaan Majelis Ulama Jawa,
beliau tetap hadir. Beliau dituduh telah menyebarkan aliran sesat.
Adapula yang menuduh sebagai antek-antek Syi’ah. Ada juga yang
mengatakan beliau ahli sihir, dan lain sebagainya. ( Akan saya buat
catatan tersendiri tentang beliau : Damar Shashangka).
Pada sidang pertama para ulama yang tergabung dalam Dewan Wali Sangha
tidak bisa menemukan kesalahan Syeh Siti Jenar. Sehingga, beliau lantas
dibebaskan dari segala tuduhan. Namun bagaimanapun juga, Syeh Siti
Jenar adalah duri didalam daging bagi mereka. Maka sejak saat itu,
kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari.
Konsentrasi Dewan Wali Sangha terpecah pada rencana perebutan
kekuasaan. Melalui serangkaian musyawarah yang pelik, maka disimpulkan,
kekuatan militansi Islam sudah cukup siap untuk mengadakan perebutan
kekuasaan. Raden Patah, Adipati Demak Bintara, terpilih secara mutlak
sebagai pemimpin gerakan.
Kubu Abangan, tidak menghadiri musyawarah ini. Apalagi semenjak Dewan
Wali Sangha atau Majelis Ulama Jawa dipegang Sunan Giri, hubungan kubu
Putihan dan kubu Abangan kian meruncing. Sunan Kalijaga dan para
pengikutnya hanya mau membantu Dewan Wali Sangha merampungkan
pembangunan Masjid Demak. Selebihnya, mereka tidak ikut campur.
Persiapan sudah matang. Tinggal memilih hari yang ditentukan. Pasukan
Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit mengendus rencana ini. Prabhu
Brawijaya mendapat laporan para pasukan Intelejen yang ada disekitar
Demak Bintara. Sayangnya, beliau tidak begitu mempercayainya. Beliau
berkeyakinan, tidak mungkin Raden Patah, putra kandungnya sendiri akan
nekad berbuat seperti itu. Prabhu Brawijaya tidak memahami betapa
militant-nya orang yang sudah terdoktrin!
Dan manakala pergerakan pasukan besar-besaran terdengar, yaitu
pasukan orang-orang Islam Putihan, gabungan dari seluruh lasykar yang
ada di wilayah pesisir utara Jawa timur sampai Jawa barat mulai
bergerak. Keadaan menjadi gempar! Para Pejabat daerah kalang kabut.
Mereka tidak menyangka orang-orang Islam sedemikian banyaknya.
Setiap daerah yang dilalui pasukan ini, tidak ada yang bisa
membendung. Kekuatan mereka cukup besar. Persiapan mereka cukup tertata.
Sedangkan daerah-daerah yang dilalui, tidak mempunyai persiapan sama
sekali. Daerah perdaerah yang dilewati, harus melawan sendiri-sendiri.
Tidak ada penyatuan pasukan dari daerah satu dengan daerah lain. Semua
serba mendadak. Dan tak ada pilihan lain kecuali melawan atau mundur
teratur. Gerakan pasukan ini cukup kuat. Para Adipati yang berhasil
mundur segera melarikan diri ke ibu kota Negara. Mereka melaporkan
agresi mendadak pasukan pesisir yang terdiri dari orang-orang Islam itu.
Dan dari mereka, Prabhu Brawijaya mendapat laporan yang
mencengangkan, yaitu telah terjadi pergerakan pasukan dari Demak
Bintara. Pasukan berpakaian putih-putih. Berbendera tulisan asing!
Berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak dimengerti! Pasukan ini dapat
dipastikan adalah pasukan orang-orang Islam. Dan kini, tengah bergerak
menuju ibu kota Negara Majapahit.
Percaya tidak percaya Prabhu Brawijaya mendengarnya. Laporan pasukan
Telik Sandhibaya selama ini telah menjadi kenyataan.. Namun, Prabhu
Brawijaya tetap tidak bisa mengerti, mana mungkin Raden Patah berbuat
seperti itu. Mana mungkin orang-orang Islam berani dan tega mengadalan
pemberontakan. Selama ini, Majapahit telah memberikan bantuan material
yang tidak sedikit bagi mereka. Sesak! Dada Prabhu Brawijaya seketika
serasa sesak bagai dihantam palu! Bergemuruh mendidih! Beliau menyebut
Nama Mahadeva berkali-kali.
Seluruh pembesar Majapahit tegang. Mereka menantikan komando Sang
Prabhu. Waktu berjalan cepat. Sang Prabhu masih belum mengeluarkan titah
apapun. Pergerakan pasukan sudah memasuki Madiun, sebentar lagi
mencapai wilayah Kadhiri, sudah teramat dekat dengan ibu kota Negara.
Pertempuran-pertempuran penghadangan telah terjadi secara otomatis. Dan
semua telah masuk menjadi laporan bagi Sang Prabhu.
Bahkan ada laporan yang menyatakan, beberapa daerah yang terpengaruh Islam, malah ikut bergabung dengan pasukan ini.
Adipati Kertosono ( wilayah Kediri sekarang ) mengirinkan utusan
khusus kepada Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah perang!
Sang Prabhu masih termangu-mangu. Dan manakala terdengar Adipati
Kertosono melakukan perlawanan mati-matian tanpa menunggu komando
beliau, barulah Sang Prabhu tersadar! Segera beliau memerintahkan
seluruh pasukan Majapahit untuk mempersiapkan sebuah perang besar!
Para Panglima yang telah menanti-nantikan perintah ini menyambut
dengan suka cita! Inilah yang mereka nanti-nantikan! Tanpa menunggu
waktu lama, seluruh kekuatan Majapahit segera dipersiapkan.
Pasukan Majapahit telah siap sedia menyambut kedatangan pasukan Demak
Bintara. Dan sekali lagi, mereka tinggal menunggu perintah untuk
MENYERANG! Dan komando terakhir inipun tidak segera keluar. Pasukan
Majapahit resah. Para Panglima cemas. Para kepala pasukan tempur digaris
depan terus mendesak kepada Para Panglima masing-masing agar segera
mengeluarkan perintah penyerangan!
Para Panglima juga mendesak Sang Senopati Agung, meminta kepada
Prabhu Brawijaya untuk segera memberikan komando terakhir. Perlu
dicatat, salah satu panglima yang memperkuat barisan Majapahit adalah
Adipati Terung, adik tiri Raden Patah.
Dalam hatinya bertanya-tanya, ada apakah dengan kakak tirinya
sehingga mengadakan gerakan makar sedemikian rupa? Selama ini, dia tidak
melihat ada yang salah dengan pemerintahan Prabhu Brawijaya. Tidak ada
diskriminasi dalam hal keagamaan. Dirinya yang muslim-pun, bisa bebas
menjalankan ibadah agamanya. Bahkan, bisa dipercaya menjabat sebagai
seorang Adipati, yang notabene bukan jabatan main-main.
Adipati Terung tidak bisa memahami pola pikir kakak tirinya.
Dan perintah penyerangan tidak juga segera turun. Seluruh pasukan
yang sudah bersiap sedia dibarak masing-masing, dilanda ketegangan yang
luar biasa! Di Istana, Para Mantri resah. Melihat situasi ini, Sabdo
Palon dan Naya Genggong meminta Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan
perintah. Namun apa jawaban Sang Prabhu? Beliau masih tidak yakin
pasukan Demak akan tega menyerang ibu kota Negara Majapahit. Sabdo Palon
dan Naga Genggong menandaskan, cara berfikir Raden Patah dan para
pasukan ini sudah lain. Sang Prabhu tidak akan bisa memahaminya. Jalan
satu-satunya sekarang adalah, menghadapi mereka secara frontal. Pada
saat ini, tidak ada cara lain.
Dan manakala kabar terdengar pasukan Demak telah merangsak maju dan
memasuki pinggiran ibu kota Majapahit, dan disana mereka mengadakan
perusakan hebat. Dengan sangat terpaksa, Sang Prabhu mengeluarkan
perintah penyerangan! Tapi, perintah itu sebenarnya telah terlambat!
Begitu keluar perintah penyerangan, ada hal yang tidak terduga, pasukan
Ponorogo dan beberapa daerah yang lain membelot! Diketahui kemudian
ternyata mereka adalah pasukan dari daerah-daerah yang sudah muslim.
Dan, peperangan pecah sudah!
Peperangan yang besar. Darah tertumpah lagi! Senopati Demak dipimpin
oleh Sunan Ngundung. Dan dipihak Majapahit, Senopati dipegang oleh Arya
Lembu Pangarsa. Prajurid Majapahit mengamuk dimedan laga. Para prajurid
yang sudah berpengalaman tempur ini dan disegani diseluruh Nusantara,
sekarang tidak main-main lagi! Adipati Sengguruh, Raden Bondhan Kejawen
yang masih belia, Adipati Terung, Adipati Singosari dan yang lain ikut
mengamuk dimedan laga! Sayang, banyak kesatuan-kesatuan Majapahit yang
berasal dari daerah muslim, membelot. Namun, pada hari pertama, pasukan
Demak Bintara terpukul mundur!
Pada hari kedua, pasukan Demak terpukul lebih telak. Senopati Demak,
Sunan Ngundung tewas! (Makamnya masih ada di Trowulan, Mojokerto sampai
sekarang.) Pasukan Demak mengundurkan diri. Pasukan cadangan masuk
dipimpin oleh putra Sunan Ngundung, Sunan Kudus. Pertempuran kembali
pecah! Namun bagaimanapun juga, pasukan Demak harus mengakui kekuatan
pasukan Majapahit. Mereka terpukul mundur keluar dari ibu kota Negara.
Kehebatan pasukan Majapahit yang terkenal itu, ternyata terbukti!
Pasukan Demak bertahan. Beberapa minggu kemudian, datang pasukan dari
Palembang bergabung dengan pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit seolah
mendapat suntikan darah segar. Namun ternyata, bergabungnya pasukan
Palembang ini hanyalah bagian dari siasat dari orang-orang Demak.
Pasukan Palembang, diam-diam memusnahkan seluruh persediaan bahan
makanan tentara Majapahit. Lumbung-lumbung besar dibakar! Semua
persediaan bahan pangan ludes! ( Inilah simbolisasi dari didatangkannya
peti ajaib milik Adipati Arya Damar dari Palembang yang apabila dibuka,
mampu mengeluarkan beribu-ribu tikus dan memakan seluruh beras dan bahan
pangan tentara Majapahit. : Damar Shashangka). Majapahit kebobolan luar
dalam. Majapahit benar-benar tidak pernah menyangka akan hal itu.
Begitu persediaan bahan pangan menipis, dari hari kehari, pelan namun
pasti, pasukan Majapahit terpukul mundur!
Mendengar pasukan Majapahit terdesak, Kepala Pasukan Bhayangkara,
yaitu Pasukan Khusus Pengawal Raja, segera mengamankan Prabhu Brawijaya.
Keadaan sudah sedemikian genting dan Sang Prabhu, mau tidak mau, harus
segera meloloskan diri. Ini harus dilakukan secepatnya, karena untuk
menyatukan kembali kekuatan tentara Majapahit kelak, sosok Prabhu
Brawijaya, masih dibutuhkan!
Dengan dikawal Pasukan Bhayangkara, Prabhu Brawijaya segera keluar
dari Istana. Pasukan Bhayangkara memutuskan agar Sang Prabhu
menyelamatkan diri ke Pulau Bali. Pulau yang kondusif untuk saat ini.
Ditengah kekacauan itu, Dewi Anarawati, diam-diam dibawa oleh pasukan
Islam ke Gresik. Putra bungsu Dewi Anarawati, Raden Gugur yang masih
kecil, diselamatkan oleh pasukan Ponorogo dan dibawa ke Kadipaten
Ponorogo.
Dan pada akhirnya, Majapahit bisa dijebol. Seluruh Istana dirusak dan
dibakar!. Perusakan terjadi dimana-mana. ( Maka jangan heran, sampai
sekarang bekas Istana Majapahit yang terkenal di Nusantara itu, musnah
tak berbekas. : Damar Shashangka )
Dan pada akhirnya, terjadilah tragedi kemanusiaan yang sampai
sekarang ‘ditutupi’. Perang yang semula melibatkan dua kekuatan militer
Majapahit dan Demak, kini merembet menjadi perang sipil. Mereka yang
merasa diatas angin, kini menjadi sosok malaikat maut. Pertumpahan darah
terjadi. Masyarakat Majapahit yang masih memegang keyakinan
Sumber
Senin, 24 Februari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar