Add caption |
Penerapan Syariah
Di Kerajaan Wajo, setelah Arung Matowa (Raja) Wajo ke-XII yang bernama La Sangkuru’ Mulajaji memeluk Islam tahun 1610, Raja Gowa selanjutnya mengirim ulama Minangkabau, Sulaiman Khatib Sulung, yang sudah kembali dari Luwu’. Khatib Sulung mengajarkan keimanan kepada Allah dan segala larangan-larangannya, seperti: 1
(1) dilarang mappinang rakka’ (memberi sesajen pada apa saja);
(2) dilarang mammanu-manu’ (bertenung tentang alamat baik-buruk melakukan suatu pekerjaan);
(3) dilarang mappolo-bea (bertenung melihat nasib);
(4) dilarang boto’ (berjudi);
(5) dilarang makan riba (bunga piutang);
(6) dilarang mappangaddi (berzina);
(7) dilarang minum pakkunesse’ (minuman keras);
(8) dilarang makan cammugu-mugu (babi); dan
(9) dilarang mappakkere’ (mempercayai benda keramat).
Setelah ketentuan-ketentuan ditetapkan maka Arung Matowa Wajo mempercayakan pengurusan dan penyusunan aparat sara’ (pejabat syariah, pen.) kepada Sulaiman Khatib Sulung. Sebagaimana sudah kita sebutkan sebelumnya, Parewa Sara’ inilah yang mendampingi Raja dalam menjalankan syariah Islam. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan-larangan di atas, pasti pelakunya akan dijatuhi hukuman/sanksi sesuai syariah Islam. Hal serupa juga terjadi pada seluruh Kerajaan di bawah kekuasaan Gowa ini. Sebabnya, secara umum berlaku sistem Pangngadakkan/Pangngaderreng selalu terdiri dari Pampawa Ade’ dan Parewa Sara’.
Bidang Hukum/Pperadilan
Lembaga Pangngadakkan/pangngaderreng terdiri dari Pampawa Ade’ (pelaksan adat), yaitu Raja dan pembantu-pembantunya, dan Parewa Sara’ (pejabat syariah), yaitu Ulama, Qadhi, Imam, dan lain-lain. Kadi (Qadhi) inilah yang menjadi hakim. Dia mengadili segala perkara dalam penerapan syariah Islam. Sekalipun fungsi kadi (qadhi) ini tidak hanya mengadili perkara tentang syariah Islam, sebagai pejabat sara’ ia juga mengatur urusan upacara-upacara keagamaan (hari besar Islam, pen.) seperti Maulid Nabi Muhammad saw., Isra’ Mikraj Nabi, Sembahyang (Shalat, pen.) Id dan lain-lain yang diadakan di Istana Raja;2 juga urusan pernikahan dan urusan kematian terutama keluarga Raja.
Keberadaan kadi (qadhi), yang sering juga disebut kali, bisa kita jumpai setidaknya sebagai mewakili seluruh kerajan yang lain, yakni Kerajaan Gowa sebagai pemimpin kerajaan-kerajaan lainnya, diangkat seorang kali (kadi) dengan sebutan Daengta Kalia3 atau Daengta Kali Gowa.4 Di Kerajaan Bone juga diangkat kali (kadi) dengan sebutan Petta KaliE . Disebut Petta karena semua kali diangkat dari kalangan bangsawan. “Petta” adalah sebutan bangsawan berarti “Tuanku”. Di Kerajaan Wajo juga diangkat kali (kadi).5
Keberadaan qadhi (kadi/kali) yang sering juga disebut Daengta Kalia/Petta KaliE menunjukkan bahwa penerapan syraiah Islam sudah terlembaga dengan sitematis pada waktu itu.
Bidang Politik dan Pemerintahan
Pemberian gelar “Sultan” kepada Raja.
Di Kerajaan Wajo, setelah Arung Matowa (Raja) Wajo ke-XII yang bernama La Sangkuru’ Mulajaji memeluk Islam tahun 1610, Raja Gowa selanjutnya mengirim ulama Minangkabau, Sulaiman Khatib Sulung, yang sudah kembali dari Luwu’. Khatib Sulung mengajarkan keimanan kepada Allah dan segala larangan-larangannya, seperti: 1
(1) dilarang mappinang rakka’ (memberi sesajen pada apa saja);
(2) dilarang mammanu-manu’ (bertenung tentang alamat baik-buruk melakukan suatu pekerjaan);
(3) dilarang mappolo-bea (bertenung melihat nasib);
(4) dilarang boto’ (berjudi);
(5) dilarang makan riba (bunga piutang);
(6) dilarang mappangaddi (berzina);
(7) dilarang minum pakkunesse’ (minuman keras);
(8) dilarang makan cammugu-mugu (babi); dan
(9) dilarang mappakkere’ (mempercayai benda keramat).
Setelah ketentuan-ketentuan ditetapkan maka Arung Matowa Wajo mempercayakan pengurusan dan penyusunan aparat sara’ (pejabat syariah, pen.) kepada Sulaiman Khatib Sulung. Sebagaimana sudah kita sebutkan sebelumnya, Parewa Sara’ inilah yang mendampingi Raja dalam menjalankan syariah Islam. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan-larangan di atas, pasti pelakunya akan dijatuhi hukuman/sanksi sesuai syariah Islam. Hal serupa juga terjadi pada seluruh Kerajaan di bawah kekuasaan Gowa ini. Sebabnya, secara umum berlaku sistem Pangngadakkan/Pangngaderreng selalu terdiri dari Pampawa Ade’ dan Parewa Sara’.
Bidang Hukum/Pperadilan
Lembaga Pangngadakkan/pangngaderreng terdiri dari Pampawa Ade’ (pelaksan adat), yaitu Raja dan pembantu-pembantunya, dan Parewa Sara’ (pejabat syariah), yaitu Ulama, Qadhi, Imam, dan lain-lain. Kadi (Qadhi) inilah yang menjadi hakim. Dia mengadili segala perkara dalam penerapan syariah Islam. Sekalipun fungsi kadi (qadhi) ini tidak hanya mengadili perkara tentang syariah Islam, sebagai pejabat sara’ ia juga mengatur urusan upacara-upacara keagamaan (hari besar Islam, pen.) seperti Maulid Nabi Muhammad saw., Isra’ Mikraj Nabi, Sembahyang (Shalat, pen.) Id dan lain-lain yang diadakan di Istana Raja;2 juga urusan pernikahan dan urusan kematian terutama keluarga Raja.
Keberadaan kadi (qadhi), yang sering juga disebut kali, bisa kita jumpai setidaknya sebagai mewakili seluruh kerajan yang lain, yakni Kerajaan Gowa sebagai pemimpin kerajaan-kerajaan lainnya, diangkat seorang kali (kadi) dengan sebutan Daengta Kalia3 atau Daengta Kali Gowa.4 Di Kerajaan Bone juga diangkat kali (kadi) dengan sebutan Petta KaliE . Disebut Petta karena semua kali diangkat dari kalangan bangsawan. “Petta” adalah sebutan bangsawan berarti “Tuanku”. Di Kerajaan Wajo juga diangkat kali (kadi).5
Keberadaan qadhi (kadi/kali) yang sering juga disebut Daengta Kalia/Petta KaliE menunjukkan bahwa penerapan syraiah Islam sudah terlembaga dengan sitematis pada waktu itu.
Bidang Politik dan Pemerintahan
Pemberian gelar “Sultan” kepada Raja.
Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabiah yang memeluk Islam pertama kali dari raja-raja Gowa bersama pamannya I Mallingkaan Daeng manyonri’ (Raja Tallo) selaku Mangkubumi (kepala pemerintahan/perdana menteri) Kerajaan Gowa. Kemudian I Mangarangi Daeng Manrabiah diberi gelar Sultan Alauddin, sedangkan I Mallingkaan Daeng Manyonri diberi gelar Sultan Awwalul Islam. Menurut Andi Kumala Idjo, SH, putra Mahkota Kerajaan Gowa sekarang, gelar “Sultan” ini diberikan oleh Mufti Makkah.6 Sejak Raja Gowa XIV itulah gelar “Sultan” diberikan kepada setiap raja Gowa berikutnya, semisal Raja Gowa XV I Mannuntugi Daeng Mattola Karaeng Lakiung, diberi gelar Sultan Malikussaid oleh Mufti Arabia.7 Begitu pula Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang diberi gelar Sultan Hasanuddin. Demikian seterusnya.
Pemberian gelar “Sultan” ini oleh Mufti Makkah/Arabia menunjukkan adanya hubungan struktural Kesultanan Gowa dengan Negara Khilafah Islamiah pada waktu itu. Makkah adalah bagian integral dari Kekhilafahan Islam, yakni Makkah sebagai wilayah kegubernuran (wali) dari Khilafah Islamiyah. Pada tahun 1605 saat Rja Gowa XIV telah memeluk Islam, masa itu Khilafah dipimpin oleh Khalifah Ahmad I (1603-1617) dari Kekhalifahan Bani Utsmaniyah.
Menerapkan syariah Islam.
Setelah Islam menjadi agama resmi Kerajaan Gowa-Tallo’, Kerajaan ini kemudian menerapkan syariah Islam melalui lembaga Parewa Sara’ (Pejabat Syariah, pen.) yaitu Ulama, Qadhi (Kali/Kadi), Imam, dst. Sekalipun masih tetap ada Lembaga Pampawa Ade’ (pelaksana Adat), yaitu raja dan pembatu-pembantunya, syariah tetap masih mengakomodasi hukum-hukum adat yang tidak bertentangan dengan syariah Islam. Contoh-contoh penerapannya sudah disebutkan di atas.
Kerajaan menyebarkan Islam.
Penyebaran Islam dilakukan baik melalui pendekatan struktural maupun kultural. Pendekatan struktural dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo dengan menyebarkan Islam kepada rakyat Gowa-Tallo dan juga segera menyebarkannya ke kerajaan-kerajaan lainnya. Adapun pendekatan kultural dilakukan dengan cara Kerajaan mengutus para mubalig ke seluruh pelosok-pelosok daerah.
Perlu dicatat, bahwa penyebaran Islam oleh Kerajaan Gowa-Tallo kepada rakyat ataupun raja-raja memegang teguh prinsip mengajak dengan cara damai. Bisa kita lihat bagaimana Kerajaan Ajatappareng (Suppak, Sawitto, Rappang dan Sidenreng) memeluk Islam dengan cara damai setelah diajak oleh Gowa. Berbeda halnya ketika Kerajaan yang diajak oleh Gowa memeluk Islam, lalu menolak Islam, maka Gowa akan memeranginya, seperti yang dilakukannya terhadap Kerajaan Tellumpoccoe (Bone, Soppeng dan Wajo) sampai ditaklukkannya.
Ini menunjukkan bahwa Gowa sebagai institusi pemerintahan menyadari kewajibannya untuk menyebarkan Islam kepada siapa saja dan dimana saja.
Catatan kaki:
1 H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan (hlm. 63-91), Lembaga Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988.
2 Ibid.
3 Ibid.
4 Ibid.
5 Ibid.
6 Andi Kumala Idjo, SH. “Wawancara”, LF HTI Gowa, Desember 2007
7 H.A. Massiara Dg. Rapi, Menyingkap Tabir Sejarah dan Budaya di Sulawesi Selatan (hlm. 63-91), Lembaga Penelitian dan Pelestarian Sejarah dan Budaya Sulawesi Selatan TOMANURUNG, 1988.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar