DALEM WAWU RAWUH ADIPATI BALI I SETELAH EKSPEDISI MAJAPAHIT WAKIL KERAJAAN MAJAPAHIT DI BALI
Penyerahan Kekuasaan oleh Patih Gajahmada Kepada Sri Dalem Kresna Kepakisan
Setelah kekalahan Kerajaan Bedulu maka Pulau Bali dapat dikuasai sepenuhnya oleh Majapahit maka Pemerintahan sementara diserahkan kepada Mpu Jiwaksara yang kemudian bergelar Ki Patih Wulung. Beliau menempatkan pusat Pemerintahan di Gelgel. - Namun demikian walaupun Bali sudah dikalahkan Majapahit, tidak berarti rakyat dan tokoh-tokoh Bali Aga sudah menyerah. sering terjadi perselisihan antara orang-orang Bali-Aga dengan pasukan Majapahit yang ditugaskan menjaga keamanan di Bali.
Mereka terus mengadakan perlawanan di bawah tanah, dan sekali-sekali muncul ke permukaan, misalnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Tokawa di Ularan, dan Ki Buwahan di Batur. satunya orang yang masih disegani pada waktu itu adalah Patih Ulung tetapi tidak mempunyai wewenang apapun untuk mengatasi situasi yang tidak tentram di Bali.
Situasi menjadi makin tidak menetu karena para Arya dari Jawa kurang mengindahkan kekuasaan pemerintahan sementara tersebut. Setelah tujuh tahun barulah pemberontakan-pemberontakan dapat dipadamkan, namun rakyat Bedahulu masih belum mau menerima kehadiran "si-penjajah" sepenuh hati.
Melihat keamanan sudah membaik dan Pemerintahan sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka pada tahun 1350 M atau 1272 isaka, terdorong oleh keinginan luhur untuk menjaga keutuhan Bali maka Patih Ulung bersama dua orang keluarganya Arya Pemacekan dan Arya Kepasekan memberanikan diri menghadap ke Majapahit yang bertujuan melaporkan situasi di Bali dan memohon penunjukan seorang Raja di Bali Dwipa yang mampu meredakan ketegangan di Bali.
Kemudian atas saran Patih Agung Gajah Mada, pada tahun itu juga dilantiklah empat orang Raja, putra-putri Sri Soma Kepakisan, untuk memimpin kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukkan, yaitu:
- Ida Nyoman Kepakisan menjadi Raja di Blambangan
- Ida Made Kepakisan menjadi Raja di Pasuruan,
- Ida Nyoman Istri Kepakisan/Dalem Sukanya diperistri Raja Sumbawa
- Ida Ketut Kresna Kepakisan menjadi Raja di Bali Dwipa.
Pada saat di Bali serta daerah lain tidak memiliki penguasa, serta dalam upaya menyelenggarakan Kesejahteraan di masing-masing wilayah, maka sesuai dengan perintah Raja Majapahit, Mahapatih Gajah Mada meminta putra Ida Sri Kresna Kapakisan yang sudah dewasa untuk dijadikan penguasa atau Dalem di Bali.
"Pakis" berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah: Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar "Paku" di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono I pada tahun 1706 M.
diceritakan Mpu Wira Dharma berputra tiga orang yaitu: Mpu Lampita, Mpu Adnyana, Mpu Pastika. Selanjutnya Mpu Pastika berputra dua orang yaitu: Mpu Kuturan berasrama di Lemah Tulis dan Mpu Beradah pergi ke Daha serta menjadi pendeta kerajaan (bhagawanta) dari Raja Airlangga dan dikaitkan dengan cerita Calonarang yang amat terkenal di Bali. Kemudian Mpu Beradah berputra seorang yang bernama Mpu Bahula yang kemudian kawin dengan Ratnamanggali. Dari perkawinan ini lahirlah beberapa putra: Mpu Panawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Kepakisan dan Mpu Sidimantra.
Akhirnya Mpu Panawasikan berputra: Mpu Angsoka, Mpu Nirartha. Mpu Kepakisan yang berputra empat orang yaitu: tiga putra dan seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan diangkat menjadi raja di Bali.
Dengan demikian Sri Kresna Kepakisan yang menjadi Raja di Bali adalah dari keturunan Brahmana yang kebangsawanannya diubah menjadi kesatrya atau dari Danghyang/ Mpu menjadi Sri.
B. PENGANGKATAN DINASTI SRI KRESNA KEPAKISAN
Dalem Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dalem Tegal Besung.
Dalam Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali rombongan dari
majapahit mendarat di pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju
SampranganDalam pemerintahannya Dalem Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan/ Sri Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung berasal dari Dinasti Warmadewa yang merupakan keturunan Raja atau Kesatrya Kediri. Sehingga baik Adipati maupun Patih Agungnya berasal dari satu desa yaitu desa Pakis di Jawa Timur sehingga setibanya beliau di Bali menggunakan nama yang hamper sama yaitu Adipatinya bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan sedangkan patih agungnya bergelar Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan
Dalam pemerintahannya dalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Dipilihnya Daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa jarak desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km.
Dari Babad Dalem diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali Dalem Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah.
Dalem Sri Kresna Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama:
Ni Gusti Ayu Gajah Para, merupakan putri dari Arya Gajah para melahirkan:
- Dalem Wayan (Dalem Samprangan)
- Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan)
- Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak)
- Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir). I
Dari Istri yang kedua: Ni Gusti Ayu Kuta Waringin merupakan putri dari Arya Kutawaringin , melahirkan:
- Dewa Tegal Besung.
C. SISTEM PEMERINTAHAN
Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali merupakan awal terbentuknya dinasti baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan yang kemudian berkuasa di Bali sampai awal abad ke-20 (1908).
Beliau membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit termasuk para
bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang menempati
status dan peranan penting atas struktur pelapisan masyarakat Bali. Hal
ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan
Bali Kuno.
Semasa pemerintahan Sri kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti: desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain.
Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu belia bawa.
D. SISTEM PEMERINTAHAN
Raja
yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas
politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam
melaksanakan pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para
putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan
birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya mereka
diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja dibantu oleh suatu
lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja. Anggotanya ialah
para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra
Jabatan yang lain ialah Dharma Dhyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Ada dua Dharma Dhyaksa yaitu Dharma Dhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Budha. Dalem Sri Kresna Kepakisan dalam menjalankan pemerintahannya di bantu oleh para Arya yang terlebih dahulu menetap di Bali yang kedatangannya bersamaan dengan ekspedisi Majapahit bersama Patih Gajah Mada juga dibantu para Arya yang menyertai perjalanan Dalem Sri Kresna Kepakisan dari Majapahit ke Bali.
Para arya tersebut diantaranya :
- Arya Kenceng mengambil tempat di Tabanan
- Arya Kanuruhan mengambil tempat di Tangkas
- Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu
- Arya Dalancang mengambil tempat di Kapal
- Arya Belog mengambil tempat di Kaba Kaba
- Arya Pangalasan
- Arya Manguri
- Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas mengambil tempat di Toya Anyar
- Arya Temunggung mengambil tempat di Petemon
- Arya Kutawaringin bertempat tinggal di Toya Anyar Kelungkung
- Arya Belentong mengambil tempat di Pacung
- Arya Sentong mengambil tempat di Carangsari
- Kriyan Punta mengambil tempat di Mambal
- Arya Jerudeh mengambil tempat di Tamukti
- Arya Sura Wang Bang asal Lasem mengambil tempat di Sukahet
- Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana
- Arya Melel Cengkrong mengambil tempat di Jembrana
- Arya Pamacekan mengambil tempat di Bondalem
- Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan
E. KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Mengenai
kehidupan beragama pada masa kerajaan Samprangan tidak begitu banyak
diketahui karena kerajaan Samprangan berlangsung tidak begitu lama yaitu
kurang dari setengah abad. Selain itu keadaan pemerintahan belum stabil
sebagai akibat munculnya pemberontakan pada desa-desa Bali Aga. Agama
yang dianut masyarakat pada masa ini adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam upacara-upacara keagamaan kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting.
Kehidupan Masyarakat Bali Jaman Dulu
Apabila ditinjau dari segi jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha. Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.
(gambar kiri: Pura Besakih)
Di Gelgel, semasa pemerintahan Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan dibangun pula Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan, Ide Bethara Mpu Gnijaya (Pasek Sanak Sapta Rsi), dan keturunan Ide Bethara Mpu Saguna (Maha Smaya Warga Pande).
Dalem Kresna Kepakisan adalah penganut sekte Waisnawa,
mungkin saja dari Sub Sekte Bhagawata , mengingat nama kresna yangbelau
pergunakan sehingga wajarlah beliau dikelilingi oleh para Bujangga
Waisnawa, baik Bujangga Waisnawa yang di bali maupun yang menyertai
Beliau dari Jawa.
F. BIDANG KESENIAN DAN KESUSASTRAAN
Kehidupan
seni budaya ketika itu telah berkembang dengan baik sebagai kelanjutan
perkembangan seni budaya jaman Bali Kuna abad 10-14 M. Ketika itu
masyarakat Bali telah mengenal beberapa jenis kesenian seperti: lakon
topeng, diman pada jaman Bali Kuna disebut dengan nama pertapukan.
Demikian pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang kendang, peniup seruling dan lain- lainnya Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa kitab kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Beberapa kitab kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.
Demikian pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang kendang, peniup seruling dan lain- lainnya Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa kitab kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Beberapa kitab kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.
G. AKHIR MASA PEMERINTAHAN
Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar