endirikan Kerajaan Medang
Ratu Sanjaya alias Rakai Mataram menempati urutan pertama dalam daftar para raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih, yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung tahun 907.Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tanggal 6 Oktober 732 tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja, yang ditemukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.
Prasasti Canggal juga mengisahkan bahwa, sebelum Sanjaya bertakhta sudah ada raja lain bernama Sanna yang memerintah Pulau Jawa dengan adil dan bijaksana. Sepeninggal Sanna keadaan menjadi kacau. Sanjaya putra Sannaha (saudara perempuan Sanna) kemudian tampil sebagai raja. Pulau Jawa pun tentram kembali.
Prasasti Canggal ternyata tidak menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin Sanna dan Sanjaya. Sementara itu prasasti Mantyasih menyebut Sanjaya sebagai raja pertama Kerajaan Medang, sedangkan nama Sanna sama sekali tidak disebut. Mungkin Sanna memang bukan raja Medang. Dengan kata lain, Sanjaya mewarisi takhta Sanna namun mendirikan sebuah kerajaan baru yang berbeda. Kisah yang agak mirip terjadi pada akhir abad ke-13, yaitu Raden Wijaya mewarisi takhta Kertanagara raja terakhir Singhasari, namun ia mendirikan kerajaan baru bernama Majapahit.
Pada zaman Kerajaan Medang terdapat suatu tradisi mencantumkan jabatan lama di samping gelar sebagai maharaja. Misalnya, raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907) adalah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu. Itu artinya, jabatan lama Dyah Balitung sebelum menjadi raja Medang adalah sebagai kepala daerah Watukura.
Sementara itu gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dapat diperkirakan ketika Sanna masih berkuasa, Sanjaya bertindak sebagai kepala daerah Mataram (daerah Yogyakarta sekarang). Daerah Mataram inilah yang kemungkinan besar dipakai sebagai lokasi ibu kota ketika Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang. Itulah sebabnya, Kerajaan Medang juga terkenal dengan sebutan Kerajaan Mataram. Sementara itu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung, ibu kota Kerajaan Medang sudah tidak lagi berada di Mataram, melainkan pindah ke Poh Pitu.
Kapan tepatnya Kerajaan Medang berdiri tidak diketahui dengan pasti. Seorang keturunan Sanjaya bernama Mpu Daksa memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau “kalender Sanjaya”. Menurut analisis para sejarawan, tahun 1 Sanjaya bertepatan dengan tahun 717 Masehi. Angka tahun tersebut menimbulkan dua penafsiran, yaitu tahun penobatan Sanjaya sebagai raja, atau bisa juga merupakan tahun kelahiran Sanjaya.
Apabila Sanjaya naik takhta pada tahun 717, berarti saat prasasti Canggal (732) dikeluarkan, Kerajaan Medang sudah berusia 15 tahun. Sementara itu apabila 717 adalah tahun kelahiran Sanjaya, berarti saat mengeluarkan prasasti Canggal ia masih berusia 15 tahun dan sudah menjadi raja. Dengan kata lain, Sanna mengangkat Sanjaya sebagai kepala daerah Mataram sejak keponakannya itu masih anak-anak (sama seperti Jayanagara pada zaman Majapahit).
Versi Carita Parahyangan
Naskah Carita Parahyangan ditulis sekitar abad ke-16, sehingga berselang ratusan tahun sejak kematian Sanjaya. Menurut versi ini, nama asli Sanjaya adalah Rakeyan Jambri, sedangkan Sanna disebut dengan nama Bratasenawa, atau disingkat Sena.Sena adalah raja Kerajaan Galuh yang dikalahkan oleh saudara tirinya, bernama Purbasora. Putra Sena, bernama Rahyang Sanjaya alias Rakeyan Jambri saat itu telah menjadi menantu Tarusbawa raja Kerajaan Sunda. Dengan bantuan mertuanya, Sanjaya berhasil mengalahkan Purbasora tujuh tahun kemudian.
Sanjaya kemudian menyerahkan takhta Kerajaan Galuh kepada Demunawan, adik Purbasora. Rahyang Sempakwaja, ayah Purbasora merasa keberatan karena takut kelak Demunawan akan ditumpas pula oleh Sanjaya. Sanjaya terpaksa menduduki sendiri takhta kerajaan tersebut.
Karena Sanjaya juga bertakhta di Kerajaan Sunda, maka pemerintahannya di Galuh pun diserahkan kepada Premana Dikusumah, cucu Purbasora. Sementara itu putra Sanjaya yang bernama Rahyang Tamperan diangkat sebagai patih untuk mengawasi pemerintahan Premana.
Karena merasa tertekan dan kurang dihargai, Premana akhirnya memilih pergi bertapa. Istrinya yang bernama Pangreyep, seorang putri Sunda, berselingkuh dengan Tamperan sehingga melahirkan putra bernama Rahyang Banga. Tamperan kemudian mengirim utusan untuk membunuh Premana.
Setelah Sanjaya menjadi raja di Mataram, wilayah Sunda dan Galuh pun dijadikan satu di bawah pemerintahan Tamperan. Kemudian terjadi pemberontakan Manarah putra Premana yang berhasil menewaskan Tamperan. Sementara itu putranya, yaitu Banga berhasil lolos dari kematian.
Mendengar berita kematian Tamperan, Sanjaya pun menyerang Manarah. Perang besar terjadi yang akhirya didamaikan oleh Demunawan (adik Purbasora). Setelah melalui perundingan dicapai sebuah kesepakatan, yaitu Banga diangkat sebagai raja Sunda, sedangkan Manarah sebagai raja Galuh.
Carita Parahyangan terlalu berlebihan dalam memuji kekuatan Sanjaya yang diberitakan selalu menang dalam setiap peperangan. Konon, Sanjaya bahkan berhasil menaklukkan Melayu, Kamboja, dan Cina. Padahal sebenarnya, penaklukan Sumatra dan Kamboja baru terjadi pada pemerintahan Dharanindra, raja ketiga Kerajaan Medang.
Sanjaya di Jawa Barat juga dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Ia meninggal dunia karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru agamanya. Dikisahkan pula bahwa putranya yang bernama Rahyang Panaraban dimintanya untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu menakutkan.
Hubungan dengan Rakai Panangkaran
Menurut prasasti Mantyasih, Sanjaya digantikan oleh Maharaja Rakai Panangkaran sebagai raja berikutnya. Raja kedua ini mendirikan sebuah bangunan Buddha, yang kini dikenal sebagai Candi Kalasan, atas permohonan para guru raja Sailendra tahun 778. Berdasarkan berita tersebut, muncul beberapa teori tentang hubungan Sanjaya dengan Rakai Panangkaran.Teori pertama dipelopori oleh van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang beragama Hindu. Ia dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Jadi, pembangunan Candi Kalasan ialah atas perintah raja Sailendra terhadap Rakai Panangkaran yang menjadi bawahannya.
Teori kedua dipelopori oleh Porbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya, dan keduanya merupakan anggota Wangsa Sailendra. Dengan kata lain, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada karena tidak pernah tertulis dalam prasasti apa pun. Menurut teori ini, Rakai Panangkaran pindah agama atas perintah Sanjaya sebelum meninggal. Tokoh ini dianggap identik dengan Rahyang Panaraban dalam Carita Parahyangan. Jadi, yang dimaksud dengan istilah “para guru raja Sailendra” dalam prasasti Kalasan tidak lain adalah para guru Rakai Panangkaran sendiri.
Teori ketiga dipelopori oleh Slamet Muljana bertentangan dengan kedua teori di atas. Menurutnya, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya, melainkan anggota Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya. Teori ini didasarkan pada daftar para raja dalam prasasti Mantyasih di mana hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu, sedangkan para penggantinya tiba-tiba begelar Maharaja. Selain itu, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai raja bawahan, karena ia dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra) dalam prasasti Kalasan. Alasan lainnya ialah, dalam prasasti Mantyasih Rakai Panangkaran bergelar maharaja, sehingga tidak mungkin kalau ia hanya seorang bawahan.
Jadi, menurut teori pertama dan kedua, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Sedangkan menurut teori ketiga, Rakai Panangkaran adalah musuh yang berhasil mengalahkan Sanjaya.
Sementara itu menurut teori pertama, Rakai Panangkaran adalah bawahan raja Sailendra. Sedangkan menurut teori kedua dan ketiga, Rakai Panangkaran adalah raja Sailendra itu sendiri.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar