“Saat aku memangku pemerintahan, total utang kami sekitar 300
juta lira dan berhasil ditekan hingga tinggal 30 juta lira, atau tinggal
sepersepuluhnya saja”. Demikianlah tulis Sultan Abdul Hamid (1842-1918M), Khalifah Utsmaniyah di dalam catatan hariannya (terj. Mudzakaraat as Sulthan abdul Hamid. Dr Muhammad Harb hal 26).
Posisi utang negara Utsmaniyah pada dua masa sultan sebelumnya,
yaitu Abdul Majid (ayah Abdul Hamid) dan Abdul Aziz (pamannya) telah
mencapai 252 juta lira emas (tahun 1881 M), dan jumlah tersebut harus segera dibayar karena jatuh tempo.
Saat berkuasa, Abdul Hamid dihadapkan kepada berbagai macam
permasalahan, seperti pembangkangan Serbia dan Montenegro, yang telah
dimulai sejak akhir pemerintahan Sultan Abdul Aziz. Demikian juga
keberadaan para pejabat pengkhianat Islam dan sebagian gubernur yang
serakah, di antaranya Khudaiwi Ismail, gubernur Utsmaniyah di Mesir yang
telah menjabat sejak masa pemerintahan pamannya, Sultan Abdul Aziz.
Gubernur Ismail telah berhasil memaksa Sultan Abdul Aziz untuk
menerima utang luar negeri dari Inggris dan Prancis sebesar 100 juta
Junaih. Tindakan Abdul Aziz menerima usulan Ismail ini telah membuat
Ustmaniyah jatuh ke dalam kubangan utang luar negeri. Sifat serakah
Ismail juga telah mendorongnya menjual saham-saham pribadinya atas
kepemilikan Terusan Suez pada November 1875 M di pasar gelap.
Saham-saham itu akhirnya jatuh ke tangan Inggris setelah melalui
persaingan dengan Prancis yang kalah cepat. Jatuhnya saham-saham ke
tangan Inggris ini menjadi sebab munculnya gerakan perlawanan di Mesir
untuk mengenyahkan Inggris dari Mesir di kemudian hari.
Untuk menghentikan laju bertambahnya utang luar negeri dan
berpindahnya kepemilikan aset-aset strategis negara ke tangan musuh,
Abdul Hamid segera memecat para pejabat rakus termasuk di antaranya
gubernur Mesir, Khudaiwi Ismail. Ismail dipecat melalui dekrit tahunan
yang dikeluarkan pada 25 Juli 1879 M.
Pemerintahan Khalifah Abdul Hamid sangat terbebani dengan banyaknya
utang luar negeri. Sementara itu, sumber pendapatan negara dari hari ke
hari semakin menciut. Produktivitas dalam negeri pun hari demi hari
semakin menurun, sehingga sepanjang periode pembenahan tersebut, Sultan
harus mendatangkan barang-barang kebutuhan bagi rakyatnya dari Eropa.
Komoditas tekstil Eropa ada di mana-mana, membanjiri negara. Kondisi ini
berdampak pada bangkrutnya sejumlah pabrik di dalam negeri, karena
pendapatan yang terus defisit. Pemasukan cukai lintas batas pun
mengalami penurunan hingga pada tingkat yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Keadaan demikian itu sebagai konsekuensi dari
diberlakukannya perjanjian perdagangan dengan negara-negara besar yang
dilakukan oleh para khalifah sebelumnya.
Kondisi buruk tersebut bertambah parah dengan adanya persoalan tanah
tempat tinggal dan lapangan pekerjaan bagi jutaan Muslim Utsmaniyah yang
eksodus dari Bulgaria ke Istanbul. Eksodus ini sebagai akibat dari
adanya perang yang terjadi antara Rusia dan Utsmaniyah yang berlangsung
dari tahun 1877 sampai 1878 M. Sebagai langkah solusi atas persoalan
ini, dibuatlah perjanjian untuk mengakhiri perang pada 31 Januari 1878
M.
Sultan Abdul Hamid telah berhasil menyelesaikan persoalan utang ini
hingga berkurang separuh dari jumlah asalnya. Keseriusan Sultan untuk
melunasi utang ini telah menyebabkan para pegawai negara, terutama para
pemegang kebijakan gelisah karena gaji mereka dibayarkan terlambat.
Besarnya utang luar negeri Khilafah Utsmaniyah telah dimanfaatkan
oleh Yahudi Eropa sebagai jalan untuk mendapatkan tanah Palestina. Para
Yahudi terkutuk itu menjanjikan sultan untuk membantu melunasi
utang-utang negaranya. Namun, tipu muslihat mereka yang keji dan licik
itu tidak mendapatkan respon positif dari Sultan Abdul Hamid. Pada
tanggal 28 Juni dan 7 Juli 1890 M, Sultan mengeluarkan dua perintah
kesultanan, yaitu ditolaknya keinginan Zionisme untuk memiliki
tanah-tanah Utsmaniyah dan mengembalikan mereka ke asal mereka. Abdul
Hamid telah menetapkan perintah itu dengan suatu pandangan bahwa
Khilafah Utsmaniyah harus tetap memelihara kekayaan Palestina dan tidak
menjual tanahnya kepada para imigran yang datang kepadanya. Semoga Allah
menerima amal kebaikan Sultan Abdul Hamid dan mengampuni segala
kekurangannya. Amin. (Mediaumat.com, 12/11/2013)
Sumber
Minggu, 30 Maret 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar